Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi tinggi menjadi masalah baru bagi perekonomian dunia. Asal muasalnya yakni pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian global lumpuh. Bank sentral di berbagai negara pun menerapkan kebijakan moneter ultra longgar dengan menurunkan suku bunga serta melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) guna menyelamatkan perekonomian.
Kebijakan tersebut sukses, banjir likuiditas di perekonomian membuat negara-negara yang mengalami resesi mampu segera bangkit. Dengan suku bunga rendah, perusahaan menjadi lebih ekspansif, begitu juga dengan rumah tangga yang konsumsinya meningkat, demand menjadi melesat.
Sayangnya, kenaikan tajam dari sisi demand tidak mampu diimbangi dengan supply, belum lagi adanya masalah rantai pasokan yang membuat supply makin tersendat. Demand yang lebih tinggi dari supply akhirnya memicu kenaikan harga, 'tsunami' inflasi pun menghantam.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat (AS) misalnya mencapai 8,3% year-on-year (yoy) di bulan April. Kenaikan harga-harga tersebut sedikit melandai dari bulan sebelumnya 8,5% (yoy) yang merupakan rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi tersebut membuat bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Program QE dihentikan dalam tempo 5 bulan saja dan langsung menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 5% Maret lalu.
Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.
Tidak sampai di situ, ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan.
"Kenaikan 50 akan didiskusikan dalam beberapa pertemuan mendatang. (Kenaikan) 75 basis poin bukan sesuatu yang dipertimbangkan anggota komite kebijakan moneter," kata Powell saat konferensi pers Kamis (5/5/2022).
Pasca pengumuman tersebut, pelaku pasar mayoritas melihat suku bunga di AS akhir tahun ini akan berada di rentang 2,75-3%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group. Artinya, suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 200 basis poin lagi.
Kenaikan suku bunga yang sangat agresif tersebut diharapkan bisa menurunkan inflasi hingga kembali ke target The Fed rata-rata 2%.
Suku bunga merupakan salah satu instrumen yang paling ampuh dalam meredam inflasi. Saat bank sentral menaikkan suku bunga acuan, maka suku bunga antar bank akan mengalami kenaikan.
Biaya yang dikeluarkan bank menjadi lebih besar, hal ini akan diteruskan ke debitur. Artinya suku bunga kredit, baik kredit modal kerja, kredit investasi hingga kredit konsumsi akan mengalami peningkatan.
Selain itu, likuiditas akan mengetat, sehingga bank biasanya akan menaikkan suku bunga simpanan guna meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Kenaikan suku bunga simpanan tersebut akan menyerap lebih banyak uang yang beredar.
Dalam teori ekonomi, jumlah uang beredar akan mempengaruhi inflasi. Semakin banyak uang yang beredar maka inflasi semakin tinggi. Sebaliknya, ketika jumlah uang yang beredar mengalami penurunan maka inflasi juga akan turun.
Kemudian suku bunga kredit yang lebih tinggi membuat ekspansi dunia usaha hingga tingkat konsumsi akan menurun. Artinya demand akan mengalami penurunan.
Misalnya, ketika suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mengalami kenaikan maka permintaan tentunya akan menurun. Saat permintaan rumah mengalami penurunan sementara supply masih tetap, maka harga properti akan mengalami penurunan, artinya inflasi akan melandai.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Suku Bunga Tinggi Tekan Pertumbuhan Ekonomi, Bagaimana di RI?
Seperti disebutkan sebelumnya, ketika bank sentral menaikkan suku bunga acuan pada akhirnya akan membuat perbankan menaikkan suku bunga kredit. Hal ini membuat ekspansi dunia usaha akan tersendat, begitu juga tingkat konsumsi, pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan melambat.
Hal ini lah yang ditakutkan oleh pelaku pasar saat The Fed menaikkan suku bunga dengan sangat agresif. Perekonomian AS diperkirakan akan kembali mengalami resesi.
Di tahun 2018 ketika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali masing-masing 25 basis poin, perekonomian AS akhirnya mengalami pelambatan dan suku bunga kembali diturunkan pada Agustus 2019.
Lantas bagaimana di Indonesia?
Untuk saat ini Indonesia masih belum mengalami 'tsunami' inflasi, meski sudah menunjukkan tren kenaikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal pekan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode April 2022 tumbuh 0,95% dibandingkan sebulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 2017.
Sementara dibandingkan April 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 3,47%. Ini adalah yang tertinggi sejak 2019.
Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,6% (yoy), tertinggi sejak Mei 2020 tetapi sedikit lebih rendah dari hasil polling Reuters 2,61% (yoy). Hingga April lalu, inflasi inti sudah naik dalam 7 bulan beruntun.
Ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan bertindak pre-emptive dengan menaikkan suku bunga bulan ini untuk memerangi inflasi.
"Inflasi April ada di atas konsensus pasar. Ruang BI untuk mempertahankan target inflasi 2-4% kini tidak ada," tutur Wellian dalam laporan berjudul Time for a Hike.
"BI mengatakan akan mempertimbangkan inflasi inti sementara pada saat yang sama akan pre-emptive serta hati-hati. Kami pikir jalan terbaik dalam menyelesaikan hal tersebut adalah dengan mempercepat suku bunga daripada menundanya," imbuh Wellian.
Wellian menambahkan langkah pre-emptive BI juga dilakukan demi menjaga daya tarik aset domestik di tengah kebijakan The Fed yang agresif. Dia mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah berada di jalur yang benar sehingga BI kemungkinan akan mulai mengambil langkah dalam meredam inflasi.
"Ekonomi domestik memang belum pulih sepenuhnya tapi dalam kondisi yang cukup baik. Namun, lonjakan inflasi harus segera ditangani untuk menjaga kepercayaan konsumen," ujarnya.
Wellian memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei tahun ini. Secara keseluruhan, dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini sehingga suku bunga acuan BI akan berada di level 4,5% di akhir tahun.
Sementara itu, Ekonom Bahana Sekuritas Satria Putra Sambijantoro mengatakan BI kemungkinan besar masih akan fokus pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan meredam inflasi. Terlebih, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi belum kembali ke level sebelum pra pandemi.
Satria menambahkan lonjakan inflasi April disebabkan oleh adanya demand pull inflation maupun cost push inflation. Permintaan melonjak seiring datangnya bulan Ramadhan sementara harga naik sejalan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga BBM, serta komoditas pangan dan energi di pasar global.
Inflasi masih berpotensi naik jika pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite serta tarif dasar listrik. Bahana memperkirakan inflasi tahun ini akan berada di kisaran 3,5-4,2% jika pemerintah menaikkan Pertalite ataupun tarif dasar listrik. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada lima tahun terakhir. Terakhir kali inflasi Indonesia menyentuh di atas 3,5% adalah pada 2017 (3,61%).
"Suku bunga hanya berdampak terhadap permintaan (inflasi inti) tetapi persoalan yang dihadapi sekarang adalah tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pasokan dan kenaikan harga BBM," ujar Satria dalam laporan bertajuk Will BI Curb Demand to Counter Inflation?
Satria mengatakan masih ada ruang bagi BI untuk tetap mempertahankan suku bunga tahun ini, terutama karena pemulihan ekonomi belum berlangsung secara penuh.
"Menurunkan inflasi dengan cara merusak permintaan sepertinya tidak akan menjadi pilihan kebijakan yang dipilih BI," imbuhnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA