
Menerawang Nasib Rupiah, Mungkinkah Tembus Rp15.000/US$?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) menguat melawan seluruh mata uang negara di dunia, termasuk rupiah. Nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 14.555/US$ kemarin. Akankah nilai tukar rupiah bisa menyentuh level Rp 15.000/US$?
Melansir data dari Refinitiv, Mata Uang Tanah Air di sesi awal perdagangan menguat 0,24% ke Rp 14.520/US$. Kemudian, rupiah memangkas penguatannya menjadi 0,1% saja ke Rp 14.540/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz menjelaskan, fluktuatif rupiah dengan arah depresiasi disebabkan oleh agresifnya pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral AS, The Fed yang mulai menaikkan suku bunga dan mengurangi neracanya dengan menjual surat berharga.
Hal tersebut, kata Irman memberikan tekanan tidak hanya pada rupiah, tapi juga mata uang negara berkembang lainnya. Kendati demikian, pergerakan rupiah relatif stabil dibandingkan negara berkembang lainnya, karena kondisi fundamental rupiah yang cukup baik.
"Tercermin pada neraca perdagangan yang masih surplus, foreign direct investment (FDI) inflows yang besar dan sovereign rating outlook yang di upgrade oleh lembaga rating," jelas Irman kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/5/2022).
Potensi rupiah untuk terus melemah, dari kacamata Irman masih ada. Namun, bantalan Indonesia masih kuat jika rupiah menyentuh level Rp 15.000/US$.
"Harga komoditas yang masih tinggi, sehingga kinerja ekspor kita yang baik berlanjut. Hal ini dapat menjadi bantalan bagi rupiah untuk menyentuh level Rp 15.000/US$," tuturnya.
Di sisi lain, cadangan devisa Bank Indonesia (BI) saat ini juga cukup besar untuk melakukan intervensi jika depresiasi berlebihan terjadi. Antisipasi yang dapat dilakukan, kata Irman pastinya penggunaan cadangan devisa sebagai first line of defense dan triple intervention BI.
"Jika The Fed menjadi semakin agresif, BI perlu melakukan penyesuaian suku bunga acuan juga, agar disparitas antara imbal hasil aset domestik dengan AS tidak terlalu jauh," kata Irman melanjutkan.
Senada juga disampaikan oleh Kepala Ekonom BCA David Sumual. David memandang pergerakan mata uang rupiah yang melemah masih terbilang wajar, jika dibandingkan dengan negara lain, dan cenderung relatif terbatas pelemahannya.
Tren pergerakan mata uang negara di dunia saat ini, kata David karena menguatnya dolar AS terhadap semua mata uang di dunia. Namun, pergerakan rupiah saat ini tidak perlu dikhawatirkan.
"Pergerakan rupiah masih dalam rentang yang wajar, beberapa negara justru ada yang lebih dalam melemahnya," jelas David.
Adapun sentimen penggerak rupiah saat ini, kata David bersumber dari luar negeri dan dalam negeri.
Dari luar negeri karena kebijakan suku bunga acuan The Fed yang naik 50 basis poin dan ekspektasinya terus naik. Hal ini yang membuat mata uang banyak negara ikut tertekan, tak terkecuali Indonesia.
Di dalam negeri, sentimen pergerakan rupiah berasal dari pasokan valas yang berkurang, imbas adanya pelarangan ekspor CPO. "Kita kehilangan sebulan US$ 3 billion. Pasokan valas akan berpengaruh memberikan sentimen negatif dan itu berpengaruh," jelas David.
Disamping itu impor juga mulai meningkat, mobilitas masyarakat yang makin tinggi membuat permintaan bahan bakar minyak (BBM) juga melonjak. Sehingga permintaan valas untuk impor juga pasti akan meningkat.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer