Inflasi Melonjak, Rupiah Merosot, BI 7 Day RRR Perlu Naik?
Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi ekonomi terkini, khususnya lonjakan inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat banyak pihak, khususnya investor mendorong kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
"Investor berharap Bank Indonesia dapat menyesuaikan tingkat bunga moneter yang lebih atraktif," kata Ekonom Maybank Myrdal Gunarto kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (11/5/2022).
Nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp 14.500 per dolar AS kemarin atau level terlemah dalam 10 bulan terakhir. Hal ini dipengaruhi oleh keputusan Bank Sentral AS Federal Reserve (Fed) menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 0,75-1%.
Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir. Tidak hanya itu, ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin dalam pertemuan mendatang.
Inflasi April 2022 tercatat sebesar 0,95% (mtm) atau 3,47% (yoy). Komponen harga bergejolak (volatile food/VF) menjadi penyumbang utama inflasi April dengan andil 0,39% dan mengalami inflasi sebesar 2,30% (mtm) didorong oleh peningkatan harga al. minyak goreng, daging ayam ras, dan telur ayam ras.
Komponen inflasi harga diatur pemerintah (administered prices) mengalami inflasi sebesar 1,83% (mtm), 4,83% (yoy) disebabkan adanya kenaikan bensin jenis pertamax dan tarif angkutan udara. Sementara itu, inflasi inti tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 2,60% (yoy).
Inflasi diperkirakan masih akan tinggi, sehingga dianggap perlu respons BI melalui kebijakan suku bunga acuan. Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan kenaikan suku bunga acuan patut dipertimbangkan terealisasi pada Juni mendatang.
"Menurut saya BI akan mempertimbangkan menaikkan suku bunga pada awal semester II-2022 karena inflasi sisi permintaan yang meningkat," terang Josua.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memiliki analisa yang berbeda. Menurutnya, BI tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Sebab masalah inflasi kini adalah di penawaran dan kenaikan harga energi yang diatur pemeriintah.
Di sisi lain, pemulihan ekonomi masih sangat dini. Sekalipun sudah terlepas dari resesi dan pada kuartal I-2022 ini ekonomi mampu tumbuh 5%. Akan tetapi masih ada bekas luka dari pandemi yang harus disembuhkan dan rentan bila dibiarkan.
Kini BI 7 days reverse repo rate berada pada level 3,5%. Kenaikan suku bunga acuan secara teorinya mampu mengendalikan inflasi dan menarik investor untuk kembali datang, namun di sisi lain bisa memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia.
"Masih ada ruang untuk BI rate yang stabil tahun ini karena menurunkan inflasi dengan mengganggu permintaan bukanlah pilihan kebijakan yang menurut kami menguntungkan BI," papar Putera.
(mij/aji)