
Bursa Asia Dibuka 'Kebakaran' Lagi, Hang Seng Ambruk 3% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik kembali dibuka terkoreksi pada perdagangan Selasa (10/5/2022), mengikuti kembali pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS) yang kembali terkoreksi pada perdagangan Senin kemarin waktu setempat.
Indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,88%, Hang Seng Hong Kong ambruk 3,65%, Shanghai Composite China ambrol 1,38%, Straits Times Singapura merosot 0,82%, ASX 200 Australia anjlok 1,33%, dan KOSPI Korea Selatan tergelincir 1,12%.
Saham teknologi di bursa Asia-Pasifik juga terpantau kembali berjatuhan menyusul koreksinya saham teknologi di AS pada Senin kemarin.
Di Jepang, saham konglomerat Softbank Group ambruk 4,9%. Sedangkan di Korea Selatan, saham Kakao ambrol 2,38% dan Krafton ambles 2,39%.
Bursa Asia-Pasifik cenderung kembali mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang kembali terkoreksi pada perdagangan Senin kemarin waktu setempat.
Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,99% ke level 32.245,699. S&P 500 ambruk 3,2% ke 3.991,24, dan Nasdaq Composite paling parah yakni anjlok 4,29% ke posisi 11.623,25.
Tekanan jual pun terus berlanjut di pasar saham AS. Semua ini pemicunya lagi-lagi bermuara pada kebijakan moneter AS. Bank sentral Paman Sam (Federal Reserve/The Fed) pada pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp).
Kini target suku bunga AS berada di kisaran 0,75-1,00%. Kenaikan drastis suku bunga acuan membuat imbal hasil (yield) surat utang pemerintahnya naik signifikan.
Pada Senin pagi hari waktu AS, yield Treasury tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran level 3,18%. Namun pada penutupan perdagangan Senin waktu AS, yield Treasury tenor 10 tahun mulai menurun ke level 3,001%.
Ketika yield naik berarti harga obligasi sedang tertekan. Investor cenderung memilih aset-aset dengan durasi pendek dan melepas aset dengan horison investasi jangka panjang.
Hal inilah yang memicu saham-saham teknologi babak belur di sepanjang tahun 2022 ini. Pelaku pasar pun memperkirakan volatilitas masih akan berlangsung.
"Kami perkirakan pasar masih akan bergerak volatil dengan kecenderungan adanya downside risk seiring dengan risiko stagflasi yang meningkat" tulis Maneesh Despande dari Barclays sebagaimana diwartakan CNBC International.
Sebagai informasi, stagflasi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi dan dibarengi dengan ekonomi yang melambat dan adanya resesi.
Stagflasi pernah terjadi di AS pada tahun 1970-an. Pemicu stagflasi kala itu juga sama yaitu harga minyak dan energi yang melambung karena tensi geopolitik yang meningkat.
Secara teknikal, pasar saham AS juga dinilai belum mencapai titik terendahnya (bottom). Hal ini diungkapkan oleh JC'O Hara dari MKM Partners, melansir CNBC International.
"Kami pikir harga saham masih berpotensi untuk terus turun karena kami belum melihat cukup bukti indikator teknikal yang menunjukkan proses bottoming dimulai. Profil volume juga belum oversold" tulis JC'O Hara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
