
Jeblok ke Level Terlemah 10 Bulan, Rupiah Sehat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan Senin (9/5/2022) dengan menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah libur Hari Raya Idul Fitri selama lebih dari sepekan. Tetapi penguatan rupiah tidak bertahan lama, nilainya kemudian merosot dan berbalik arah hingga menyentuh level terlemah dalam nyaris 10 bulan terkahir.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.490/U$S, atau menguat 0,03% saja. Setelahnya rupiah masuk ke zona merah hingga akhirnya menyentuh Rp 14.547/US$ atau jeblok 0,36% pada pukul 12:46 WIB. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 21 Juli 2021.
Dua pekan lalu, sebelum pasar keuangan Indonesia libur Lebaran, rupiah juga melemah lebih dari 1% dalam 4 hari perdagangan.
Tekanan bagi rupiah memang sangat besar. Bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga membuat indeks dolar AS melesat, begitu juga dengan yield obligasi AS (Treasury). Hal tersebut memberikan pukulan ganda bagi rupiah.
Sepanjang pekan lalu, indeks dolar AS tercatat menguat 0,68% dan hari ini naik lagi sekitar 0,4% ke 104,1 yang merupakan level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Kemudian yield Treasury tenor 10 tahun pada pekan lalu naik 20 basis poin ke 3,142%, tertinggi sejak November 2018.
Kenaikan yield tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang tentunya memberikan sentimen negatif ke rupiah.
Kenaikan tersebut tidak lepas dari The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 0,75-1% pada Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia. Ini bukan yang terakhir, karena pada akhir tahun pasar memperkirakan suku bunga acuan berada di rentang 3-3,25%.
![]() fed |
Artinya, suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 250 basis poin lagi. The Fed masih akan melakukan rapat kebijakan moneter 5 kali lagi, jika ekspektasi pasar tersebut terealisasi maka The Fed kemungkinan menaikkan suku bunga masing-masing 50 basis poin di setiap pertemuan.
Ekspektasi tersebut semakin kuat setelah rilis data tenaga kerja Amerika Serikat Jumat pekan lalu. US Bureau of Labor Statistics melaporkan, perekonomian AS menciptakan 428.000 lapangan kerja sepanjang April 2022. Lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang 391.000. Dengan demikian, sudah 12 bulan beruntun perekonomian AS membuka lebih dari 400.000 lapangan kerja.
Data tenaga kerja merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Indikator lainnya yakni inflasi, sudah sangat tinggi yang menjadi alasan Jerome Powell dan kolega agresif menaikkan suku bunga.
Tidak hanya menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga sudah secara terang-terangan menyebut soal rencana normalisasi neraca (balance sheet). Saat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), The Fed memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar per bulan. Tentu saja neraca The Fed menjadi 'gemuk' sehingga harus 'diet'.
Pembelian surat berharga selama pandemi membuat neraca The Fed bengkak menjadi US$ 9 triliun. Pada Juni, Juli, dan Agustus, neraca itu akan dikurangi masing-masing US$ 47,5 miliar per bulan. Mulai September, nilai pengurangannya menjadi US$ 90 miliar per bulan.
Kombinasi kebijakan tersebut membuat likuiditas di perekonomian terserap lebih cepat, sehingga dolar AS pun perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
