Beruntung! Andai IHSG Dibuka, Bisa Jadi Ikutan Ambruk
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia atau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih merayakan libur lebaran 2022 hingga Jumat (6/5/2022) hari ini dan baru akan dibuka kembali pada Senin pekan depan, di mana pada Senin pekan depan juga menjadi perdagangan perdana IHSG di bulan Mei 2022.
Namun seandainya IHSG dibuka, maka bisa saja turut mengalami koreksi dan mempengaruhi kinerjanya yang masih positif sepanjang tahun 2022. Hal ini karena bursa saham global kembali mencatatkan kinerja negatifnya dalam beberapa hari terakhir.
Sejak awal tahun hingga 28 April lalu (year-to-date/ytd), IHSG sendiri tampil tokcer dengan naik 9,84% dan beberapa kali menembus level tertinggi, ditopang oleh aliran dana asing (net buy) sebesar Rp 72,12 triliun di seluruh pasar.
Dari kawasan Asia-Pasifik, mayoritas bursa sahamnya mengalami koreksi lebih dari 1% pada hari ini. Bahkan, beberapa diantaranya terkoreksi hingga lebih dari 2%-3%. Hanya indeks Nikkei Jepang yang ditutup di zona hijau pada hari ini.
Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling parah koreksinya, yakni ambruk hingga nyaris 4% atau tepatnya 3,81%, disusul Shanghai Composite China dan ASX 200 Australia yang ambles 2,16%.
Kemudian Straits Times Singapura ambrol 1,38% dan KOSPI Korea Selatan tergelincir 1,23%.
Tak hanya di Asia-Pasifik saja, bursa saham Eropa pun dibuka memerah pada perdagangan Jumat hari ini waktu setempat, di mana FTSE 100 Inggris dibuka melemah 0,64%, DAX Jerman merosot 0,8%, dan CAC 40 Prancis tergelincir 0,96%.
Sementara pada perdagangan Kamis kemarin waktu Amerika Serikat (AS), tiga indeks utama di Wall Street ditutup ambruk di kisaran 3%-4%, di mana indeks Dow Jones ditutup ambruk 3,12%, S&P 500 anjlok 3,56%, dan Nasdaq longsor nyaris 5% atau lebih tepatnya 4,99%.
Penyebab utama dari ambruknya Wall Street yang berimbas juga ke pasar saham Eropa dan Asia-Pasifik adalah kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
The Fed resmi menaikan suku bunga acuannya sebesar setengah poin persentase atau 50 basis poin (bp) ke kisaran level 0,75%-1%. Hal ini menjadi kenaikan terbesar sejak tahun 2000 dan sejalan dengan ekspektasi pasar.
The Fed juga menguraikan rencananya untuk mulai mengurangi neraca pada bulan Juni mendatang.
Sebelum diumumkannya kenaikan suku bunga acuan The Fed, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun sempat melonjak ke atas level 3% pada Senin dan Rabu pekan ini.
Yield Treasury tenor 10 tahun sempat menyentuh level tertinggi di 3,106% dan menjadi level tertinggi sejak 2018. Hal serupa terjadi pada yield obligasi tenor 30 tahun lompat 12 basis poin ke 3,126%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya, ketika yield naik, berarti harga turun.
Pendiri Latitude Investment Management Freddie Lait mengatakan bahwa reli yang terjadi di pasar dapat di mengerti, mengingat kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin mungkin saja terjadi, jika mengacu pada komentar Presiden Fed St. Louis James Bullard.
Namun, Lait mengatakan The Fed masih akan melanjutkan jalur hawkish-nya dengan menaikkan suku bunga acuan untuk mengembalikan inflasi ke sekitar level 3% dalam enam atau tujuh bulan ke depan.
Tak hanya The Fed saja, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga kembali menaikan suku bunga acuannya pada Kamis sore waktu setempat, di mana BoE menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bp.
Meski begitu, pasar sudah mengantisipasinya, mengingat tidak adanya kejutan dalam pengambilan kebijakan, meski sejatinya pelaku pasar di Eropa kembali melakukan aksi jual di pasar saham Eropa.
Langkah pengetatan yang dilakukan oleh BoE tersebut juga dipicu oleh masalah yang sama, yaitu kenaikan inflasi yang tinggi.
Pada bulan Maret lalu, Inggris melaporkan inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) naik 7% dari tahun sebelumnya.
Inflasi di Inggris juga tak jauh berbeda dengan AS. Pada Maret 2022, kenaikan inflasi di Negeri Ratu Elizabeth mencapai level tertingginya dalam 3 dekade terakhir.
Dengan kenaikan suku bunga acuan ini, maka BoE sudah genap 4 kali melakukan pengetatan kebijakan moneternya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)