
Wall Street Karam Lagi, Bursa Asia Dibuka Longsor

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka berjatuhan pada perdagangan Rabu (27/4/2022), di tengah ambruknya lagi bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa kemarin waktu AS karena investor khawatir dengan potensi pelambatan ekonomi AS.
Indeks Nikkei Jepang dibuka ambruk 2,15%, Hang Seng Hong Kong merosot 1,03%, Shanghai Composite China melemah 0,43%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,2%, KOSPI Korea Selatan ambles 1,75%, dan ASX 200 Australia tergelincir 0,97%.
Dari Australia, data inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) periode kuartal I tahun 2022 akan dirilis pada hari ini. Konsensus Tradingeconomics memperkirakan IHK Negeri Kanguru pada kuartal I-2022 akan melonjak menjadi 4,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menjadi 1,7% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QoQ).
Saham-saham teknologi di Asia-Pasifik terpantau ambruk mengekor saham-saham teknologi di AS yang juga ambruk kemarin.
Di Jepang, konglomerat SoftBank Group merosot 2,83%. Sedangkan di Korea Selatan, saham Samsung Electronics terkoreksi lebih dari 1%, dan saham Krafton ambles 3,62%.
Sebelumnya pada perdagangan Selasa kemarin waktu AS, bursa saham AS, Wall Street ambrol lagi setelah sempat rebound di awal pekan. Kekhwatiran akan pelambatan ekonomi Paman Sam serta kemungkinan earning emiten yang mengecewakan terus memicu aksi jual.
Indeks Nasdaq memimpin kemerosotan sebesar 3,95% ke 12.490,74 dan menyentuh level terendah dalam 52 pekan terakhir. Sementara untuk indeks S&P 500 ambles 2,8% ke 4.175,2 dan Dow Jones minus 2,4% ke 33.240,18.
Saham-saham teknologi AS memimpin kemerosotan meski para raksasanya baru akan melaporkan earning setelah perdagangan ditutup. Namun, investor berkaca dari Netfilx yang mengecewakan pada pekan lalu.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Netflix melaporkan penurunan jumlah subscriber di kuartal I-2022. Alhasil saham Netflix ambrol hingga 35% dalam sehari dan terus berlanjut hingga kemarin turun lagi 5,5%.
Saham Alphabet dan Microsoft juga turun lebih dari 3%. Kekhawatiran investor memang terbukti, setelah penutupan perdagangan Alphabet yang merupakan induk Google melaporkan pendapatan dan laba di bawah ekspektasi pasar.
Laba dilaporkan sebesar US$ 68,01 miliar sedikit di bawah ekspektasi US$ 68,11 miliar, sementara laba sebesar US$ 24,62/lembar saham lebih rendah dari prediksi US$ 25,91/lembar saham.
Selain laporan earning, aksi jual juga terus melanda akibat kecemasan akan risiko pelambatan ekonomi AS akibat inflasi yang sangat tinggi dan langkah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga agresif untuk meredamnya.
Kepala Penelitian Fundstrat Global Advisor, Tom Lee telah memprediksikan bahwa kuartal I-2022 akan 'berbahaya', tapi ternyata pasar lebih buruk dari yang dia prediksikan, di mana inflasi yang memburuk sejalan dengan ekspektasi pasar. Meski demikian, dia tetap optimis.
"Ketika pasar obligasi berteriak agar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sedikit lebih ketat, sulit bagi pasar saham untuk bertahan dan saya pikir itulah yang sedang kita alami sekarang, tapi saya tidak berpikir untuk menjual ekuitas. Saya tidak berpikir bahwa inflasi akan terus menjadi masalah bahkan di kuartal II-2022" tambahnya.
Di lain sisi, investor masih memantau perkembangan dari pandemi virus corona (Covid-19) di China, di mana hal ini juga dapat terus membebani sentimen investor di Asia-Pasifik.
Pengujian massal (testing) baru-baru ini dimulai di ibu kota China, Beijing, setelah lonjakan kasus Covid-19 dilaporkan selama akhir pekan. Hal itu terjadi karena sebagian besar Shanghai tetap berada di bawah penguncian (lockdown) yang berkepanjangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
