Pekan Terakhir Jelang Lebaran, Yield SBN Kembali Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Senin (25/4/2022) awal pekan ini, karena investor masih menimbang dari indikasi semakin agresifnya bank sentral Amerika Serikat (AS) terhadap kenaikan suku bunga acuan.
Mayoritas investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN. Hanya SBN bertenor 3 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun melemah 9,4 basis poin (bp) ke level 3,721% pada perdagangan hari ini.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara menguat 6,7 bp ke level 7,043%. Yield SBN tenor 10 tahun pada akhirnya menembus kisaran level 7%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pada hari ini, bursa saham Asia-Pasifik dan pasar saham dalam negeri (Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG) terpantau terkoreksi, menandakan bahwa selera risiko investor kembali memudar. Namun, investor juga cenderung tak memburu SBN pada hari ini.
Sementara itu dari AS, yield surat utang pemerintah (US Treasury) tenor 10 tahun cenderung melemah pada pagi hari ini waktu AS, karena investor masih mencerna sinyal indikasi bahwa kenaikan suku bunga yang lebih agresif oleh bank sentral AS akan segera terjadi.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun cenderung melemah 9,4 bp ke level 2,812% pada pukul 06:46 waktu AS.
Investor masih merespons negatif dari sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang berpotensi semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya.
Ketua The Fed, Jerome Powell pada Jumat lalu mengatakan kenaikan suku bunga 50 basis poin (bp) sudah siap diketok pada pertemuan The Fed berikutnya. Hal ini tentunya memberikan sentimen negatif terhadap pasar saham.
Berdasarkan perangkat Fed Watch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 99,6% The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada 4 Mei mendatang (waktu setempat).
Selain itu, ada probabilitas sebesar 70% The Fed akan menaikkan 50 basis poin lagi di bulan Juni menjadi 1,5% - 1,75%.
Dengan The Fed yang bertindak lebih agresif, semakin banyak analis yang melihat AS akan mengalami resesi.
"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi.
Powell sendiri mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.
"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat perlambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)