Jelang Libur Lebaran, IHSG Bisa All Time High Lagi?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
Minggu, 24/04/2022 21:00 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang libur panjang Hari Raya Idulfitri atau Lebaran, pasar saham Indonesia diperkirakan tidak akan seramai biasanya. Hal ini karena para investor mungkin akan mulai mengkonversi asetnya menjadi uang tunai dan hari perdagangan lebih pendek.

IHSG diperkirakan bergerak dalam tren mendatar arau sideways karena sentimen dalam negeri yang sepi. Selain itu, saham sektor bank yang melaju tinggi pada pekan ini berpotensi terjadi koreksi karena aksi ambil untung investor.

Gerak IHSG akan lebih dipengaruhi oleh sentimen dari luar negeri dibandingkan dari dalam negeri.


Pekan depan, investor dapat mengamati rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) Manufacturing China untuk bulan April. PMI Negeri Tirai Bambu tersebut diperkirakan akan kembali kontraksi karena karantina wilayah di Shanghai dan daerah lain akibat penyebaran Covid-19 yang masif.

Covid-19 telah membuat PMI melambat pada bulan Maret. PMI China pada bulan Maret turun menjadi 49,5 dari 50,2 pada bulan Februari.

Mata investor juga masih akan tertuju pada pertemuan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve/The Fed, yang akan diadakan setelah libur Lebaran. Tepatnya pada tanggal 3 dan 4 Mei 2022.

Ketua The Fed, Jerome Powell, Jumat dini hari mengatakan kenaikan 50 basis poin akan didiskusikan saat pertemuan kebijakan moneter 3 dan 4 Mei (waktu setempat).

"Dengan inflasi yang tiga kali lebih tinggi dari target 2%, akan tepat untuk bergerak sedikit lebih cepat. Kenaikan suku bunga 50 basis poin akan dibicarakan pada pertemuan bulan Mei," kata Powell dalam diskusi ekonomi pada pertemuan Dana Moneter International (IMF) sebagaimana dilansir Reuters.

Namun, dengan The Fed yang bertindak lebih agresif, semakin banyak analis yang melihat Amerika Serikat akan mengalami resesi.

"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi.

Powell sendiri mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.

"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat pelambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell.

Kelanjutan konflik antara Rusia dan Ukraina juga tetap jadi perhatian investor. Sebab dampaknya yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga energi hingga pangan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(ras/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Kocok Ulang Anggaran, Dana Investor Jumbo Lari Kemana?