
Bursa Asia Gak Kompak Nih! Nikkei Ambruk, Shanghai Melesat

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi pada perdagangan Selasa (12/4/2022), karena investor terus memantau perkembangan pandemi virus corona (Covid-19) di China sembari mengamati rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) periode Maret lalu.
Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,52% ke level 21.319,13, Shanghai Composite China melesat 1,46% ke 3.213,33, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir naik 0,15% ke posisi 7.214,78.
Sedangkan untuk indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 1,81% ke level 26.334,98, Straits Times Singapura merosot 0,99% ke 3.330,25, ASX 200 Australia melemah 0,42% ke 7.454, dan KOSPI Korea Selatan tergelincir 0,98% ke posisi 2.666,76.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sedang mengamati secara detail kasus Covid-19 yang terjadi di China. Pasalnya, jumlah kasus di negara itu tiba-tiba meledak dan varian Omicron BA.2 dianggap sebagai penyebabnya.
Direktur program imunisasi dan vaksin WHO, Dr Kate O'Brien, mengatakan badan tersebut juga telah berhubungan dengan otoritas kesehatan masyarakat di China. Ini untuk mendapatkan data lengkap terkait vaksinasi di negara itu.
"Kami akan terus mengikuti situasi itu karena terus muncul dan saat mereka menanggapi situasi sehingga kami dapat memahami sifat kasus, status vaksinasi yang mendasari dan komponen lain di sana," kata O'Brien saat konferensi pers dari kantor pusat organisasi di Jenewa seperti dikutip CNBC International, Selasa (12/4/2022).
Pernyataan itu datang ketika negara itu bergulat dengan wabah Covid-19 terburuk sejak virus itu ditemukan di Wuhan lebih dari dua tahun lalu.
Meskipun rendah berdasarkan beban kasus sebagian besar negara, China melaporkan 1.184 kasus Covid-19 baru bergejala dan 26.411 tanpa gejala pada Minggu lalu.
Hal ini merupakan salah satu rekor kasus tertinggi yang dialami negara itu. Sejumlah wilayah menjadi pusat penyebaran termasuk pusat keuangan Shanghai.
Shanghai sendiri telah dilakukan karantina wilayah (lockdown) selama dua minggu. Kemarin pemerintah mengatakan akan melakukan pelonggaran meski data memperlihatkan kasus masih terus naik.
Kemarin, China juga memperketat pembatasan Covid-19 di kota Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong, wilayah padat manufaktur. Ini terjadi pasca kota itu melaporkan 27 kasus Covid-19 baru, Minggu (10/4/2022), termasuk sembilan kasus tanpa gejala.
Selain memantau perkembangan Covid-19 di China, investor di Asia-Pasifik juga menanti rilis data inflasi AS pada bulan lalu, di mana pengamat memprediksi inflasi Negeri Paman Sam akan kembali meningkat.
Pada Selasa pagi waktu AS atau Rabu malam waktu Indonesia, Departemen Ketenagakerjaan AS akan merilis data inflasi periode Maret 2022.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS bulan lalu mencapai 8,5% dibandingkan periode yang sama pada 2021 (year-on-year/yoy). Kalau terwujud, maka akan menjadi yang tertinggi sejak 1981.
Inflasi yang berpotensi kembali meninggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berpotensi semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Ketua the Fed Jerome Powell dan rekan-rekannya bakal mendongkrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.
Hal ini membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun kembali menanjak dan menyentuh rekor tertingginya sejak awal tahun 2019.
Pada pukul 01:55 WIB, yield Treasury tenor 10 tahun berada di 2,7801%. Bahkan pada hari ini pukul 16:16 WIB, yield Treasury tenor 10 tahun makin menanjak dan kini berada di level 2,813%.
Kenaikan yield membuat pasar surat utang pemerintah Negeri Paman Sam menjadi sangat 'seksi'. Akibatnya, arus dana yang mengalir ke pasar saham cenderung lebih seret.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
