
Wajib Baca! Inflasi AS Makin Tinggi, Ini Dampaknya Buat RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) berpotensi kembali melonjak pada periode Maret 2022. Investor global saat ini harap-harap cemas menanti rilis data tersebut.
Pada Selasa pagi waktu AS atau Rabu malam waktu Indonesia, Departemen Ketenagakerjaan AS akan merilis data inflasi periode Maret 2022.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS bulan lalu mencapai 8,5% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2021 (year-on-year/yoy). Jika konsensus tersebut terealisasi, maka akan menjadi yang tertinggi sejak 1981.
Ketika inflasi meninggi, maka bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan semakin agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya, baik menaikkan suku bunga acuannya maupun mengurangi balance sheet-nya.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Ketua the Fed Jerome Powell dan rekan-rekannya bakal mendongkrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.
"Dengan pernyataan dari para pejabat The Fed serta tekanan inflasi yang semakin nyata, kami memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan masing-masing 50 basis poin pada Mei, Juni, dan Juli," sebut James Knightly, Chief International Economist ING, seperti dikutip dari Reuters.
Jika inflasi terus menanjak dan The Fed makin agresif dalam menentukan kebijakan moneternya, maka imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS akan terus menanjak dan semakin meninggi.
Pada hari ini pukul 01:55 WIB, yield Treasury tenor 10 tahun berada di 2,7801%. Level ini merupakan rekor tertinggi sejak awal 2019.
Kenaikan yield membuat pasar surat utang pemerintah Negeri Paman Sam menjadi sangat 'seksi'. Akibatnya, arus dana yang mengalir ke pasar saham menjadi seret.
Yield Treasury yang tinggi menjadi 'pemanis' bagi investor untuk masuk ke pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya, pasar keuangan negara berkembang akan kembali ditinggalkan oleh investor asing, termasuk Indonesia.
Ingat, investor asing masih memainkan peran di pasar keuangan Ibu Pertiwi. Di pasar saham, nilai perdagangan oleh investor asing sepanjang 2022 hingga 11 April adalah Rp 311,4 triliun. Angka itu mencapai 32% dari total nilai perdagangan.
Dari awal tahun hingga siang hari ini, asing masih mencatatkan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 39,25 triliun di seluruh pasar.
Di pasar obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN), total kepemilikan oleh investor asing per 11 April 2022 adalah Rp 854,93 triliun. Jumlah yang setara dengan 17,68% dari total SBN yang diperdagangkan.
Namun, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat dari awal tahun hingga 11 April, pasar SBN masih mencatatkan outflow sebesar Rp 36,41 triliun.
Memang pasar saham maupun SBN sudah didominasi oleh pemain lokal. Namun porsi pemain asing bukan sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata.
Jika investor asing minggat dan memilih berlabuh di pasar obligasi pemerintah AS, maka dampaknya akan sangat terasa. Apalagi kalau mereka keluar berbarengan alias sudden reversal.
Kalau ini terjadi, maka pasar keuangan Nusantara niscaya bakal terguncang 'gempa' hebat. IHSG dan rupiah sangat mungkin bisa kembali masuk zona merah. Sedangkan pasar SBN akan kehilangan arah, meski yield-nya juga berpotensi meninggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar Obligasi 'Happy' dengan Data Inflasi
