
Ada Aksi Spekulan di Balik Perkasanya Rupiah Pekan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih cukup perkasa melawan dolar Amerika Serikat (AS) sejauh ini meski bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) akan sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini.
Melansir data Refinitiv, dalam 5 hari perdagangan di pekan ini, rupiah menguat 2 hari dan melemah 3 hari beruntun. Meski demikian, rupiah masih mampu mencatat penguatan 0,03% ke Rp 14.360/US$.
Di balik stabilnya rupiah, ternyata ada juga sentimen para spekulan yang membaik. Bahkan, kini mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (7/4/2022) menunjukkan angka untuk rupiah -0,04 membaik dari dua pekan lalu 0,04.
Sepanjang tahun ini, kebanyakan rupiah mengalami aksi jual (short), hanya dua kali survei saja yang nilainya minus alias spekulan mengambil posisi long, itu pun nilainya tidak terlalu besar.
Dalam survei terbaru, rupiah termasuk yang terbaik. Dari 9 mata uang yang disurvei, selain rupiah ada yuan China dan dolar Singapura yang mendapat posisi long, sisanya dijual spekulan.
Dolar Singapura menjadi yang terbaik dengan angka -0,46. Penyebabnya, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) yang diperkirakan akan agresif mengetatkan kebijakan moneternya pekan depan.
Sementara untuk rupiah, pelaku pasar melihat kondisi ekonomi Indonesia yang cukup bagus.
Mengutip JPMorgan Asset Management dan Goldman Sachs, optimisme pasar global terbentuk karena keunikan ekonomi Indonesia yang justru mendapatkan berkah di tengah konflik Rusia - Ukraina.
Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat harga komoditas melambung, dan menguntungkan Indonesia.
Neraca perdagangan Indonesia mampu mencetak surplus selama 22 bulan beruntun yang membantu transaksi berjalan (current account) mencatat surplus di tahun 2021 lalu, menjadi yang pertama dalam 10 tahun terakhir.
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) lainnya, yakni transaksi modal dan finansial.
Selain itu, perang juga memicu capital outflow dari pasar saham Eropa, dan negara di Timur menjadi tujuannya, salah satunya Indonesia. Sepanjang tahun ini investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih sekitar Rp 37 triliun di pasar saham Indonesia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Sangat Agresif, Indeks Dolar AS Melesat
