
Batu Bara Melambung: Taipan Untung, Tapi Negara Bingung

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara 'terbang' dalam setahun terakhir. Krisis energi di China Juni lalu, pemulihan ekonomi, dan puncaknya perang Rusia-Ukraina melambungkan harga si batu hitam ke level tertingginya.
Harga batu bara melonjak tajam sejak akhir Februari lalu setelah Rusia menyerang Ukraina. Pada awal Februari, harga batu bara masih di bawah US$ 200 per ton tetapi kemudian melonjak ke level US$ 300 dan bahkan mencetak rekor pada 2 Maret 2022 di level US$ 446 per ton.
Kondisi tersebut berbanding terbalik pada awal tahun 2020. Pandemi Covid-19 membuat harga batu bara merosot tajam pada Maret 2020. Harga batu bara bahkan menyentuh rekor terendah pada Agustus 2020 hingga berada di level US$ 47,5 per ton.
Namun, harga batu bara kembali melambung menyusul pemulihan ekonomi dan Perang Rusia. Pada perdagangan Selasa (5/4/2022), harga batu bara melonjak 8% karena Uni Eropa mengancam akan menambah sanksi kepada Rusia. Tidak tanggung-tanggung, Uni Eropa mengancam akan melarang impor batu bara dari Rusia kepada 27 negara anggotanya.
Sebelumnya, Dunia Barat juga sudah memberikan sanksi kepada Rusia berupa larangan ekspor hingga pemblokiran sistem keuangan dunia Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Rencana larangan ekspor ini tentu saja akan semakin melambungkan harga batu bara karena pasokan dikhawatirkan berkurang. Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), pada 2020 perdagangan global batu bara thermal mencapai 978 juta ton.
Indonesia adalah eksportir terbesar untuk thermal batu bara dengan kontribusi hingga 40%. Australia ada di posisi kedua dengan porsi 20%, disusul kemudian dengan Rusia (18%).
Kenaikan harga batu bara tentu saja akan semakin menguntungkan perusahaan penghasil batu bara yang ada di dunia, tidak terkecuali perusahaan asal Indonesia.
Kabar akan ada sanksi tambahan ke Rusia bahkan sudah mendongkrak saham Adaro Energy sebesar 1,3% pada hari ini.
Sepanjang tahun ini, saham Adaro Energy sudah naik 12%. Saham Adaro bahkan mencatat rekor tertingginya pada 7 Maret lalu di level Rp 3.270.
Saham perusahaan batu bara lain juga melejit seperti Bayan Resources (61%), Indika Energy (65%), dan Indo Tambangraya Megah ( 32,7%). Kecuali PT Bukit Asam yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), deretan perusahaan penghasil batu bara terbesar di Indonesia dimiliki oleh terkaya dan terpenting di Indonesia.
Adaro dipimpin Garibaldi Thohir yang merupakan kakak Menteri BUMN Erick Thohir, Bumi Resources dimiliki keluarga Bakrie sementara Indika Energy dipimpin M. Arsjad Rasjid yang juga menduduki Ketua Kamar dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Melambungnya harga batu bara dalam setahun terakhir berdampak besar terhadap kinerja keuangan perusahaan-perusahaan batu bara. Beberapa perusahaan pada 2020 sempat merugi karena rendahnya harga, termasuk Indika Energy.
Namun pada 2021, perusahaan batu bara menangguk untung besar. Beberapa perusahaan bahkan mencatatkan kenaikan laba di atas 200%.
PT Bukit Asam membukukan kenaikan pendapatan sebesar 272% dari Rp 2,39 triliun di tahun 2020 menjadi Rp 7,91 triliun pada 2021. Laba bersih PT Golden Energy Mines meroket 270,5% dari US$ 93, 61 juta menjadi US$ 348,5 juta.
Laba bersih PT Indo Tambangraya Megah terbang 1.104% dari US$ 39,47 juta pada 2020 menjadi US$ 475,6 juta tahun lalu 2021. Adaro Energy membukukan kenaikan laba bersih sebesar 535,3% dari US$ 146,93 juta pada 2020 menjadi US$ 933,5 juta pada 2021.
Beberapa perusahaan juga memberikan kompensasi kepada para pejabat terasnya. Golden Energy Mines memberikan kompensasi kepada manajemen kunci. Jumlah imbalan kerja jangka pendek yang dibayar kepada Dewan Komisaris dan Direksi sebesar ekuivalen US$ 9,21 juta dan US$ 2,87 juta untuk 2021 dan 2020.
Baramulti Suksessarana memberikan kompensasi kepada manajemen kunci untuk Dewan Direksi dan Komisaris masing-masing sebesar US$ 812.314 dan US$ 669.992 untuk 2021 dan 2020. Adaro Energy memberikan kompensasi untuk dewan Direksi dan Komisaris berupa remunerasi imbalan pasca kerja sebesar US$ 20,68 juta untuk 2021 dan US$ 24,46 juta untuk 2020.
Indika Energy juga memberikan kompensasi kepada Dewan Komisaris dan Direksi. Untuk komisaris sebesar US$ 1,03 juta pada 2021 dan US$ 1,07 juta pada 2020. Sementara itu, untuk direksi sebesar US$ 3,17 juta pada 2021 dan US$ 4,21 pada 2020.
Bayan Resources memberikan kompensasi kepada Dewan Direksi sebesar US$ 18,80 juta untuk 2021 dan US$ 6,67 juta untuk 2020. Kepada Dewan Komisaris, kompensasi sebesar US$ 934.142 pada 2021 dan US$ 771.432 pada 2020.
Kenaikan harga batu bara di sisi lain bisa menaikkan penerimaan negara dalam bentuk royalti batu bara ataupun Pajak Penghasilan (PPh). Sayangnya tidak semua pihak di Indonesia menikmati kenaikan harga batu bara.
PT Perusahaan Listrik Negara bahkan sempat terancam kehilangan pasokan batu baranya karena banyak perusahaan memilih ekspor meskipun ada kewajiban pemenuhan pasar domestik (DMO).
Kewajiban memenuhi pasar domestik (DMO) juga akan membatasi jumlah batu bara ekspor Indonesia. Dalam ketentuan DMO, pengusaha wajib menjual batu bara ke PLN sebesar 25% dari total produksi dengan harga US$ 70 per metrik ton. Harga tersebut jauh di bawah harga di pasar internasional.
Pemerintah sampai mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batu bara pada awal Januari untuk memastikan pasokan batu bara ke PLN terpenuhi. Kebijakan tersebut juga untuk mencegah mati listrik massal.
Berstatus sebagai eksportir utama batu bara thermal, Indonesia justru harus berjibaku dengan pasokan batu bara untuk pembangkitnya dan terancam mati lampu massal. Ironis memang.
Kenaikan harga batu bara juga membuat PLN semakin terbebani karena lebih dari 50% sumber energi pembangkit PLN berasal dari batu bara.
Krisis pasokan batu bara di Januari bahkan membuat Indonesia terancam dari mati lampu masal seperti yang terjadi di China. Pada September dan Oktober, China melakukan pemadaman massal karena krisis energi.
Kenaikan akan berimbas pada beban PLN yang akhirnya berimbas kepada subsidi listrik. Subsidi listrik membengkak hampir tiap tahun. Pada tahun 2019, subsidi listrik mencapai Rp 52,7 triliun sementara pada tahun 2020 meningkat menjadi Rp 61,1 triliun. Pada tahun lalu, subsidi listrik membengkak menjadi Rp 56,6 triliun dari Rp 53,6 triliun yang direncanakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buset, Harga Batu Bara Turun Terus! Seminggu Rontok 33%...