
Saham-saham Big Cap Terbang, Tapi Masih Ada yang Murah

Jakarta, CNBC Indonesia - Derasnya arus masuk dana asing tak dapat dipungkiri telah membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat di sepanjang tahun 2022 ini.
Secara year to date (ytd) asing mencatatkan net buy di pasar saham senilai Rp 34,83 triliun. Bersamaan dengan arus masuk dana asing tersebut, IHSG sukses menguat 8,61% dan menembus level 7.148 dan menjadi level tertinggi sepanjang sejarah (ATH) IHSG.
Namun jika ditelusuri dengan seksama, masuknya dana asing tersebut lebih banyak dibelanjakan untuk saham-saham dengan kapitalisasi pasar besar (big cap) seperti bank dan tak luput saham-saham komoditas.
Dua saham yang paling banyak diburu oleh asing sepanjang 2022 berjalan ini adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dengan net buy Rp 8,3 triliun dan Rp 6,8 triliun.
Kedua saham big cap tersebut terpantau menguat 14,36% dan 11,88% secara year to date. Tak luput saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga ikut dikoleksi asing dengan net buy lebih dari Rp 4 triliun.
Saham BBCA naik 8,22% sedangkan saham BBNI melesat 24,07%. Saham BBNI memimpin penguatan perbankan big cap dari sisi return. Sementara itu saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga ikut diborong asing senilai Rp 1,8 triliun dan menguat 11,39%.
Kemudian saham big cap lain yang juga jadi incaran oleh asing adalah saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang keduanya dibeli asing sejak awal tahun dengan net buy Rp 2,8 triliun dan Rp 2,4 triliun. Saham ASII terpantau melesat 21,05% dan saham EMTK naik 19,3%.
Namun dari sisi return, saham-saham sektor komoditas cenderung memimpin penguatan. Sejak awal tahun saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) menjadi dua saham emiten tambang dan komoditas yang paling banyak diborong asing dengan net buy Rp 1,8 triliun dan Rp 1,1 triliun. Kedua saham sektor komoditas ini melesat 33% dan 28% seiring dengan kenaikan harga komoditas energi dan logam global.
Hal ini sesuai dengan pandangan investor global. Menurut Desmond Loh, seorang manajer portofolio di JPMorgan Asset Management, sektor yang menarik bagi pasar saham Indonesia adalah sektor perbankan, karena ia menilai bahwa penduduk Indonesia masih cenderung minim literasi akan produk perbankan.
"Di Indonesia, secara struktural kami positif terhadap perbankan karena mayoritas penduduk masih unbanked atau underbanked. Kami saat ini diposisikan di sektor swasta terkemuka dan juga bank-bank milik negara karena mereka telah secara proaktif mendorong adopsi digital untuk mempercepat penetrasi keuangan," kata Loh, dilansir dari CNBC International.
Unbanked adalah istilah di mana individu yang sudah cukup umur atau produktif, tetapi tidak memiliki rekening bank. Individu ini lebih suka menggunakan transaksi dalam bentuk cash.
Sedangkan underbanked adalah golongan individu yang sudah mempunyai rekening bank tetapi masih belum bisa mengakses produk keuangan seperti kartu kredit, KTA, dan lain-lainnya.
Selain positif di sektor perbankan, sektor komoditas juga mampu mendorong daya tarik investor asing untuk memburu pasar saham RI, karena kenaikan harga komoditas akibat commodity supercycle serta tensi geopolitik yang tinggi menjadi keuntungan sendiri bagi Indonesia.
Adapun komoditas tersebut yakni batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
"Harga komoditas yang kuat juga bermanfaat bagi pendapatan ekspor di Indonesia serta neraca perdagangan negara, dan itu ditetapkan untuk mendukung rupiah Indonesia serta prospek pertumbuhan jangka pendek di Indonesia," kata Loh.
Harga komoditas global diibaratkan seperti 'roller coaster', karena sejak perang di Ukraina pecah, harga beberapa komoditas seperti minyak mentah, gandum, dan jagung pun mengalami kenaikan yang cukup tinggi, karena adanya peningkatan permintaan.
Berikut adalah rekap net flow, kinerja harga dan valuasi saham-saham big cap yang menjadi buruan asing di tahun ini.
Saham | Net Buy | Change (YTD) | PER | PBV |
BBRI | 8.3 | 14.36% | 22.93 | 2.47 |
TLKM | 6.8 | 11.88% | 17.79 | 4.28 |
BBNI | 4.9 | 24.07% | 14.33 | 1.26 |
BBCA | 4.1 | 8.22% | 30.99 | 4.8 |
ARTO | 3.3 | -16.88% | 2142.29 | 22.34 |
ASII | 2.8 | 21.05% | 13.83 | 1.62 |
EMTK | 2.4 | 19.30% | 575 | 7.8 |
BMRI | 1.8 | 11.39% | 13.03 | 1.78 |
ADRO | 1.8 | 33.33% | 7.21 | 1.63 |
MDKA | 1.1 | 28.02% | 221.19 | 10.59 |
Tercatat terdapat 4 saham dengan rasio ekuitas dibandingkan denganharga saham (PBV) di bawah 2 kali dimana 2 diantaranya adalah saham Big Cap perbankan. Saham tersebut adalah BBNI dan BMRI. Sedangkan 2 emiten lain dengan PBV di bawah 2 kali adalah ASII dan ADRO.
Sedangkan secara rasio perbandingan laba bersih dibanding harga, maka saham koleksi asing yang paling murah jatuh kepada ADRO. Hal ini wajar mengingat laba bersih saham-saham pertambangan terutama batu bara sedang melesat gila-gilaan di tengah kenaikan harga komoditas akibat commodity supercycle.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000