Dolar AS Terpuruk & China Kirim Kabar Buruk, Rupiah Galau!
Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen pelaku pasar yang cukup baik membuat dolar Amerika Serikat (AS) menjadi kurang menarik. Hal ini membuat indeksnya merosot dalam dua hari beruntun dengan total 1,3%. Alhasil, rupiah mampu kembali menguat di awal perdagangan Kamis (31/3/2022), tetapi sayangnya tidak bertahan lama.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,1% ke Rp 14.325/US$ melansir data Refinitiv. Dalam waktu singkat, rupiah langsung memangkas penguatannya bahkan berbalik melemah tipis 0,01% ke Rp 14.342/US$ pada pukul 9:10 WIB.
Pergerakan rupiah tersebut sejalan dengan kurs non-deliverable forward (NDF) yang pagi ini posisinya tidak terlalu jauh ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Rabu (30/3) pukul 15:03 WIB | Kurs Kamis (31/3) pukul 8:58 WIB |
1 Pekan | Rp14.324,8 | Rp14.323,5 |
1 Bulan | Rp14.340,0 | Rp14.333,0 |
2 Bulan | Rp14.354,0 | Rp14.344,5 |
3 Bulan | Rp14.370,0 | Rp14.360,0 |
6 Bulan | Rp14.450,0 | Rp14.423,0 |
9 Bulan | Rp14.545,0 | Rp14.513,0 |
1 Tahun | Rp14.645,0 | Rp14.623,0 |
2 Tahun | Rp14.975,0 | Rp14.923,0 |
Melihat pergerakannya di pasar NDF tersebut, rupiah masih akan sulit untuk mencatat penguatan tajam. Apalagi kabar kurang sedap terus berdatangan dari China. Setelah sebelumnya melakukan lockdown di beberapa wilayah, sektor manufakturnya kini mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 5 bulan terakhir.
Data dari pemerintah China pagi ini menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan Maret sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi.
Kontraksi sektor manufaktur China bisa menjadi kabar buruk bagi perekonomian global. Sebab sebagai negara dengan nilai perekonomian dunia dan konsumen komoditas terbesar, kontraksi tersebut tentunya menurunkan permintaan dari negara lain.
Sektor non-manufaktur China bahkan terpukul lebih parah lagi. Maklum saja, dengan diterapkannya lockdown, aktivitas warga tentunya sangat dibatasi.
PMI sektor non-manufaktur China merosot menjadi 48,4 di bulan Maret dari bulan Februari 51,6. Kontraksi tersebut menjadi yang pertama dalam 7 bulan terakhir.
Selain itu pelaku pasar hari ini menanti rilis data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) Amerika Serikat malam ini.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter.
Di bulan Januari, inflasi ini tumbuh 6,1% (year-on-year/yoy), dan inflasi inti PCE sebesar 5,2% (yoy) tertinggi sejak 1983. Sementara untuk bulan Februari yang akan dirilis malam ini, berdasarkan hasil polling Reuters inflasi inti PCE diperkirakan melesat 5,5% (yoy).
Hal ini bisa semakin menguatkan ekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Mei, yang tentunya bisa memberikan tekanan ke rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)