
Muncul Peringatan Resesi, Rupiah Menguat Sendirian di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan Rabu (23/3) dengan cukup apik melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi seiring berjalannya waktu rupiah sempat berbalik melemah tipis.
Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,18% ke Rp 14.330/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat hari ini, dan rupiah sempat melemah tipis di Rp 14.358/US$.
Di akhir perdagangan rupiah berada di Rp 14.345/US$, menguat tipis 0,08%. Pergerakan di pasar spot tersebut membuat kurs tengah Bank Indonesia atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) juga menguat tipis 0,05% ke Rp 14.351/US$
Terpangkasnya penguatan rupiah juga tercermin dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang sore ini lebih lemah ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan hari ini.
Periode | Kurs Kamis (23/3) pukul 8:56 WIB | Kurs Kamis (23/3) pukul 15:02 WIB |
1 Pekan | Rp14.298,9 | Rp14.312,7 |
1 Bulan | Rp14.329,0 | Rp14.339,0 |
2 Bulan | Rp14.342,0 | Rp14.352,0 |
3 Bulan | Rp14.359,0 | Rp14.369,0 |
6 Bulan | Rp14.429,0 | Rp14.439,0 |
9 Bulan | Rp14.524,0 | Rp14.534,0 |
1 Tahun | Rp14.641,2 | Rp14.611,9 |
2 Tahun | Rp15.009,0 | Rp15.019,0 |
Meski penguatan di pasar spot terpangkas, tetapi rupiah menjadi satu-satunya mata uang utama Asia yang mampu menguat pada hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:03 WIB.
Sentimen pelaku pasar mulai membaik, terlihat dari penguatan bursa saham Eropa dan AS (Wall Street) kemarin malam. Penguatan tersebut menjalar ke Benua Kuning, bursa saham utama Asia langsung melesat pagi ini, termasuk IHSG sempat menghijau di awal perdagangan hari ini.
Saat sentimen pelaku pasar membaik, daya tarik dolar AS sebagai aset safe haven menjadi berkurang, dan rupiah yang diuntungkan.
"Dolar AS sangat didukung oleh sikap hawkish bank sentral AS (The Fed) tetapi saat ini mengalami koreksi. Ini disebabkan sentimen pelaku pasar yang membaik membuat bursa saham menguat dan menurunkan daya tarik dolar AS," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir CNBC International.
Namun di sisi lain, pelaku pasar mulai menimbang-nimbang kemungkinan resesi terjadi lagi. Triliuner Carl Icahn memberikan peringatan tersebut.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3).
Icahn mengatakan inflasi yang sangat tinggi menjadi ancaman bagi utama bagi perekonomian, dan Perang Rusia - Ukraina menambah ketidakpastian yang ada.
Inflasi di Amerika Serikat kini berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, yang membuat bank sentral AS (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini. The Fed pada pekan lalu sudah menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%, dan berencana menaikkan 6 kali lagi masing-masing 25 basis poin di tahun ini.
Namun, ketua The Fed, Jerome Powell, membuka peluang kenaikan lebih agresif lagi.
"Kami akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas harga. Secara khusus, jika kami menyimpulkan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin tepat dilakukan, kami akan melakukannya. Dan jika kami memutuskan perlu melakukan pengetatan di luar dari kebiasaan yang normal, kami juga akan melakukannya," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/3/2022).
Pasca pidato tersebut, pelaku pasar melihat ada probabilitas sekitar 66% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan Mei.
Selain itu, bank investasi Goldman Sachs bahkan melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan Mei dan Juni. Goldman Sachs merupakan bank yang sebelumnya memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 7 di tahun ini. Prediksi tersebut jitu, dalam dot plot yang dirilis The Fed pekan lalu menunjukkan suku bunga akan dinaikkan di setiap pertemuan di tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
