
Fed Bisa Naikkan Suku Bunga 50 Bps di Mei, Rupiah Tetap Tegar

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kemarin menjadi satu-satunya mata uang utama Asia yang mampu menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), meski penguatannya hanya 0,01% saja. Pada awal perdagangan hari ini, Selasa (22/3), rupiah melemah tipis meski bos bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, mengatakan bisa menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) di bulan Mei.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melemah tipis 0,01% ke Rp 14.340/US$. Setelahnya depresiasi bertambah menjadi 0,08% ke Rp 14.350/US$ pada pukul 9:06 WIB.
Tanda-tanda pelemahan rupiah sudah terlihat sebelum pembukaan perdagangan di mana kurs non-deliverable forward (NDF) posisinya lebih lemah ketimbang kemarin.
Periode | Kurs Senin (21/3) pukul 15:07 WIB | Kurs Selasa (22/3) pukul 8:56 WIB |
1 Pekan | Rp14.296,9 | Rp14.332,8 |
1 Bulan | Rp14.318,4 | Rp14.347,0 |
2 Bulan | Rp14.362,5 | Rp14.359,8 |
3 Bulan | Rp14.381,0 | Rp14.378,0 |
6 Bulan | Rp14.434,6 | Rp14.461,8 |
9 Bulan | Rp14.544,8 | Rp14.560,3 |
1 Tahun | Rp14.644,7 | Rp14.673,3 |
2 Tahun | Rp15.052,0 | Rp15.094,0 |
Powell dalam pidatonya di hadapan National Association for Business Economics mengatakan inflasi di Amerika Serikat terlalu tinggi dan bisa membayangkan pemulihan ekonomi. Powell menegaskan akan terus menaikan suku bunga sampai inflasi bisa terkendali, bahkan tidak menutup kemungkinan kenaikan sebesar 50 basis poin.
"Kami akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas harga. Secara khusus, jika kami menyimpulkan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin tepat dilakukan, kami akan melakukannya. Dan jika kami memutuskan perlu melakukan pengetatan di luar dari kebiasaan yang normal, kami juga akan melakukannya," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/3/2022).
Pasca pidato tersebut, pelaku pasar melihat ada probabilitas sekitar 60% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan Mei, setelah menaikkan 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada pekan lalu.
Sebelum pengumuman kebijakan moneter The Fed pada pekan lalu, para spekulan sudah menumpuk posisi beli kontrak dolar AS. Hal ini menjadi indikasi, spekulan melihat dolar AS akan menguat ke depannya.
Berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Sabtu lalu, spekulan menambah posisi beli bersih (net long) dolar AS sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 57 triliun (kurs Rp 14.340/US$) menjadi US$ 7,88 miliar pada pekan yang berakhir 15 Maret, dibandingkan pekan sebelumnya US$ 3,88 miliar.
Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc Swiss, dolar Kanada, dan dolar Australia, ditambah dolar Selandia Baru serta beberapa mata uang emerging market.
Kenaikan tersebut membuat posisi net long dolar AS naik ke level tertinggi sejak akhir Januari, naik dari level terendah 7 bulan.
Harga komoditas, khususnya batu bara yang kembali jeblok juga memberikan sentimen negatif ke rupiah. Senin kemarin, harga batu bara acuan Ice Newcastle jeblok lebih dari 8% ke US$ 220/ton. Dibandingkan rekor tertinggi sepanjang masa US$ 487/ton yang dicapai pada 7 Maret, harga batu bara kini sudah ambrol lebih dari 54%.
Tingginya harga batu bara, begitu juga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) membuat neraca perdagangan Indonesia surplus dalam 22 bulan beruntun, yang menambah pasokan devisa ke dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil. Alhasil, penurunan harga komoditas tersebut tentunya bisa mengurangi surplus neraca dagang yang menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
