Harga Batu Bara dan CPO Nyungsep, Semoga Rupiah Tetap Tegar!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan lalu mencatat pelemahan 0,28% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.340/US$. Pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) menjadi penggerak utama rupiah pada pekan lalu.
Di pekan ini, kebijakan kedua bank sentral tersebut masih akan mempengaruhi pergerakan rupiah, begitu juga dengan perkembangan perang Rusia dan Ukraina.
Sesuai dengan prediksi pasar, The Fed pada pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%, dan mengindikasikan akan menaikkan 6 kali lagi di tahun ini. Artinya, akan ada kenaikan sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan.
Tetapi beberapa pejabat elit The Fed melihat kebijakan yang diambil bisa lebih agresif lagi dengan menaikkan 50 basis poin. Hal ini dilakukan guna meredam tingginya inflasi di Amerika Serikat.
Rupiah masih perkasa melawan dolar AS setelah The Fed menaikkan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
Tetapi kemudian berbalik melemah pada hari Jumat, salah satu penyebabnya yakni BI yang kembali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti.
"Saya tegaskan bahwa kebijakan moneter merespon kenaikan inflasi yang bersifat fundamental, yaitu inflasi inti. (Kebijakan moneter) tidak merespon secara langsung kenaikan volatile food maupun administered prices, tidak merespon first round impact, tetapi yang direspon adalah implikasinya," Gubernur BI, Perry Warjiyo saat konferensi pers pasca Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis (17/3).
Dengan demikian, selisih suku bunga menjadi melebar yang tentunya membuat rupiah tertekan. Tetapi secara keseluruhan, melihat agresivitas The Fed pelemahan rupiah yang tidak terlalu besar bisa dikatakan cukup bagus.
Selain itu, pergerakan harga komoditas juga bisa mempengaruhi pergerakan rupiah di pekan ini. Dua komoditas ekspor andalan Indonesia jeblok pada pekan lalu. Harga batu bara acuan Ice Newcastle (Australia) kontrak April jeblok hingga 34% ke US$ 240/ton dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di bursa derivatif Malaysia kontrak Mei merosot lebih dari 21% ke MYR 5.760/ton.
Meski harga dua komoditas tersebut masih cukup tinggi, tetapi penurunnya yang tajam tentunya menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab, surplus neraca perdagangan bisa berkurang, dan tentunya pasokan devisa menjadi menurun.
Secara teknikal, penguatan rupiah yang disimbolkan USD/IDR masih bergerak di kisaran rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50) 100 dan 200 yang membuka peluang penguatan lebih lanjut. Hal ini menjadi indikasi rupiah bergerak sideways, apalagi sejak awal tahun membentuk pola Rectangle.
Batas bawah pola Rectangle berada di kisaran Rp 14.240/US$ dan batas atas di kisaran Rp 14.400/US$. Untuk melihat kemana arah rupiah dalam jangka menengah salah satu level tersebut harus ditembus.
Indikator Stochastic pada grafik harian bergerak naik tetapi masih berada di kisaran 50.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Untuk pekan ini, rupiah kini berada di support Rp 14.300/US$ hingga Rp 14.280/US$, penembusan ke bawah level tersebut akan membuka ruang penguatan menuju Rp 14.250/US$ hingga Rp 14.240/US$.
Sementara resisten berada di kisaran Rp 14.340/US$ hingga Rp 14.350/US$, jika dilewati rupiah berisiko melemah ke batas atas pola Rectangle Rp 14.400/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)