Era Suku Bunga Murah Berakhir, Siapa Cuan, Siapa Boncos ?

Putra, CNBC Indonesia
18 March 2022 15:30
BI Tahan Suku Bunga Acuan Tetap di 3,5% (CNBC Indonesia TV)
Foto: BI Tahan Suku Bunga Acuan Tetap di 3,5% (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Berakhirnya era suku bunga rendah sudah tampak di depan mata. Inflasi yang terus mencekik jadi pemicu utamanya.

Bank sentral AS, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya Federal Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat Maret 2022.

Ke depan The Fed akan terus melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya. Selain itu The Fed juga sudah memberikan sinyal akan mengurangi size neracanya (balance sheet) yang kemungkinan dimulai Mei 2022.

Langkah serupa juga diikuti oleh bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang menaikkan suku bunga acuan 25 bps pada Maret.

Sebenarnya BoE sudah lebih dahulu dalam menaikkan suku bunga acuannya sejak akhir tahun 2021 lalu. Setelah The Fed dan BoE, kemungkinan besar otoritas moneter Eropa juga akan melakukan hal yang sama.

European Central Bank (ECB) belum lama ini mengatakan bakal mengakhiri program pembelian asetnya pada kuartal III 2022.

Dengan mulai berakhirnya era suku bunga rendah di negara-negara Barat, bagaimana respon Bank Indonesia (BI)?

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2022, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di 3,5% karena inflasi masih rendah dan nilai tukar rupiah stabil.

Namun pelaku pasar memproyeksikan BI memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga sebanyak 2x sebesar 50 bps menjadi 4% tahun ini.

Lantas dengan berakhirnya era suku bunga "murah", sektor apa saja yang bakal diuntungkan dan dirugikan?

Secara umum, emiten-emiten yang memiliki banyak hutang tentunya akan dirugikan karena biaya bunga akan meningkat.

BIasanya emiten-emiten dengan utang menggunung datang dari sektor konstruksi karena sektor ini sangatlah padat modal dan keuntungan dari penyelesaian kontrak biasanya baru biasa didapatkan setelah kontrak selesai. Selain sektor konstruksi, emiten-emiten tekstil dalam negeri juga biasanya memiliki liabiliat berupa hutang yang jumbo.

Dengan meningkatnya suku bunga, tentu saja emiten-emiten konstruksi, tekstil, serta emiten-emiten lain yang memiliki hutang jumbo sehingga biaya bunganya diprediksikan akan melesat akan sangat dirugikan dengan berakhirnya era suku bunga murah.

Secara sektoral, emiten-emiten yang dirugikan utamanya datang dari sektor properti. Hal ini mengingat di dalam negeri mayoritas pembeli properti melakukan pembelian dengan skema Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Dengan berakhirnya era suku bunga rendah ini tentu saja tingkat suku bunga KPR akan meningkat dan ini akan men-discourage para pembeli untuk mengambil KPR karena biaya pembelian rumah akan meningkat.

Selanjutnya emiten-emiten dari sektor teknologi juga akan dirugikan. Memang untuk sektor teknologi, emiten akan merugi secara tidak langsung. Emiten-emiten teknologi setelah berakhirnya era suku bunga murah valuasinya biasanya akan menurun sehingga harga sahamnya berpotensi terkoreksi dan menjadi tidak menarik.

Terkoreksinya valuasi emiten teknologi karena emiten-emiten ini biasanya belum membukukan keuntungan alias masih merugi serta biasanya growth-based dimana emiten mengejar pertumbuhan omset atau pengguna secara masif dengan proyeksi akan membukukan keuntungan di masa mendatang.

Dengan berakhirnya era suku bunga murah artinya valuasi saham-saham teknologi akan turun karena proyeksi keuntungan di masa mendatang menggunakan valuasi future value akan turun.

Lantas emiten-emiten apa sajakah yang akan diuntungkan dengan berakhirnya era suku bunga murah ini? Well, salah satu sektor yang akan diuntungkan adalah perbankan raksasa Tanah Air.

Hal ini karena apabila suku bunga naik maka suku bunga kredit tentunya akan naik sehingga otomatis loan yield akan naik dan akan mengerek profitabilitas perbankan raksasa.

Apalagi kondisi saat ini dimana dana murah Current Account Savings Account (CASA) perbankan masih mendominasi sehingga likuiditas perbankan tergolong ample yang ditunjukkan dengan Loan Deposit Ratio (LDR) yang rendah sehingga kenaikan suku bunga akan meng-encourage bank untuk lebih agresif dalam memberikan kredit yang tentunya akan mendorong profitabilitas perusahaan.


(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular