Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia ambruk pada perdagangan pagi hari ini. Sejak pekan lalu, harga si emas hitam sedang dalam tren turun.
Pada Selasa (15/3/2022) pukul 06:33 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 106,9/barel. Ambles 5,12% dibandingkan hari sebelumnya.
Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate harganya US$ 103,01/barel. Anjlok 5,78%.
Harga minyak terus bertahan dalam tren turun sejak pekan lalu. Dalam seminggu terakhir, harga brent dan light sweet ambruk masing-masing 13,96% dan 14,51% secara point-to-point.
Ada beberapa faktor yang membuat harga minyak tergelincir. Satu, harga komoditas ini sudah naik gila-gilaan. Meski sepekan terakhir terkoreksi, tetapi harga brent dan light sweet masih membukukan kenaikan masing-masing 13,65% dan 13,16% dalam sebulan terakhir. Selama setahun ke belakang, harga masih naik 53,91% dan 56,11%.
Oleh karena itu, keuntungan yang didapat dari kontrak minyak (jika sudah dimiliki dalam waktu lama) lumayan menggiurkan. Cuan ini akan membuat investor ngiler, sehingga pada suatu saat pasti akan dicairkan. Risiko tekanan jual akan terus membayangi minyak jika masih ada keuntungan yang dijanjikan.
Dua, ada kabar baik seputar konflik Rusia-Ukraina. Pembicaraan damai terus dilakukan, sudah memasuki sesi keempat. Dialog terbaru dilakukan secara jarak jauh melalui panggilan video.
Sejauh ini belum ada kabar mengenai hasil pembicaraan tersebut. Permintaan Ukraina adalah gencatan senjata, penarikan pasukan Rusia, dan jaminan keamanan.
"Ada ekspektasi positif terhadap dialog Rusia-Ukraina. Hal ini menjadi sentimen bearish bagi harga minyak," ujar Kaushal Ramesh, Analis di Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.
Jika perdamaian Rusia-Ukraina terwujud, maka ada harapan sanksi terhadap Negeri Beruang Merah akan dicabut, termasuk larangan ekpor minyak. Dengan demikian, pasokan minyak ke pasar dunia akan kembali normal sehingga harga tidak lagi 'beterbangan'.
Tiga, ada kabar kurang sedang mengenai pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) terutama di China. Provinsi Jilin di timur laut China memberlakukan karantina wilayah alias lockdown karena tingginya penyebaran virus corona, khususnya varian Omicron. Provinsi ini ditinggali oleh lebih dari 24 juta penduduk.
Apabila virus corona masih terus menyebar, maka bukan tidak mungkin lebih banyak lagi daerah di Negeri Panda yang memberlakukan lockdown. Sebab, China menerapkan kebijakan zero tolerance, tidak ada toleransi terhadap penyebaran virus corona. Begitu ada klaster penyebaran, pasti bakal ada lockdown.
Perkembangan ini akan menghambat pemulihan ekonomi China, negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia dan nomor satu di Asia. Saat perekonomian China melambat, dampaknya pasti akan sangat terasa.
"Penyebaran virus corona di China akibat varian Omicron masih cepat sehingga menyebabkan lockdown. Ini akan mengurangi permintaan energi dunia karena China adalah negara importir minyak, gas alam, dan batu bara terbesar dunia," tulis EBW Analytics dalam risetnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA