Neraca Dagang Bakal Surplus 22 Bulan Beruntun, Rupiah Hepi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatat pelemahan 2 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) awal pekan kemarin. Perhatian pelaku pasar saat ini sudah tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) di pekan ini, dan tentu saja mempengaruhi pergerakan rupiah pada perdagangan Selasa (15/3).
Sepekan sebelum pengumuman kebijakan moneter The Fed, para spekulan sudah mulai memborong dolar AS. Hal ini terlihat dari laporan Commodity Futures Trading Commission (CFTC) Jumat pekan lalu yang menunjukkan posisi net long dolar AS meningkat menjadi US$ 5,44 miliar pada pekan yang berakhir 8 Maret.
Nilai tersebut mengalami kenaikan dari pekan sebelumnya US$ 5,12 miliar yang merupakan level terendah sejak Agustus 2021.
Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc, dolar Australia dan Kanada.
Sementara posisi kontrak yang lebih luas termasuk melawan mata uang emerging market, net long dolar AS senilai US$ 3,88 miliar, naik tipis dari pekan sebelumnya US$ 3,84 miliar.
Hal ini menunjukkan mata uang emerging market masih cukup menarik perhatian para spekulan, khususnya negara-negara pengeskspor komoditas, seperti Indonesia. Terbukti, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, dan terjadi perang Rusia dengan Ukraina.
Kedua negara tersebut memulai kembali perundingan pada Senin waktu setempat, dan perkembangannnya akan mempengaruhi pergerakan rupiah pada perdagangan Selasa (15/3).
Sementara itu dari dalam negeri, rilis data neraca dagang yang diperkirakan mencatat surplus 22 bulan beruntun bisa mendongkrak kinerja rupiah. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan nilai ekspor bulan lalu naik 39,17% dari Februari (year-on-year/yoy). Sementara impor diperkirakan tumbuh 38,53% (yoy).
Dengan perkiraan tersebut, neraca perdagangan diprediksi surplus US$ 1,8 miliar di Februari.
Surplus neraca perdagangan tersebut membantu transaksi berjalan mencatat surplus di tahun 2021 lalu. menjadi yang pertama dalam 10 tahun terakhir. Surplus transaksi berjalan menjadi faktor penting bagi rupiah, sebab mencerminkan arus devisa yang lebih stabil.
Secara teknikal, pelemahan rupiah yang disimbolkan USD/IDR dalam dua hari beruntun membuatnya kembali ke atas rerata pergerakan 100 hari (Moving Average 100/MA 100) dan 200, tetapi masih di bawah MA 50.
Indikator Stochastic pada grafik harian kini berada di kisaran 40. Sementara pada 1 jam sudah mencapai jenuh beli (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic pada grafik 1 jam yang kembali ke wilayah oversold bisa menjadi sinyal pembalikan arah alias penguatan rupiah.
Selain itu, pada grafik 1 jam terlihat rupiah sudah menutup celah (gap) yang dibuat pada Kamis (10/3) lalu, hal ini bisa menjadi tenaga tambahan untuk menguat.
Support terdekat berada di kisaran Rp 14.324/US$ hingga Rp 14.315/US$, jika ditembus rupiah bepeluang menguat ke Rp 14.300/US$ hingga Rp 14.280/US$.
Sebaliknya selama tertahan di atas support, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.360/US$ hingga Rp 14.370/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)