Seng Ada Lawan! Rupiah Menguat Sendirian di Asia Pekan Ini

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 March 2022 14:40
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses mencatat penguatan cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, bahkan sempat menyentuh Rp 14.240/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 3 Januari lalu.

Sepanjang pekan ini, rupiah mencatat penguatan 0,59% ke Rp 14.300/US$. Di Asia, rupiah menjadi satunya yang menguat di pekan ini. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Sentimen terhadap rupiah sebenarnya memang sedang bagus, terutama sebelum perang Rusia dengan Ukraina di mulai. Sebab, rupiah didukung fundamental dari dalam negeri yang semakin membaik.

Ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Di tahun ini, Bank Indonesia (BI) memprediksi transaksi berjalan akan kembali defisit, tetapi sekitar 1,1% - 1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012 - 2020 sebesar 2,3% dari PDB.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Di pelan ini, BI melaporkan cadangan devisa sebesar US$ 141,4 miliar di akhir Februari, naik US$ 100 juta dari bulan sebelumnya.

Sebagai perbandingan, saat terjadi taper tantrum akibat rencana normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed) di tahun 2013, cadangan devisa Indonesia berada di kisaran US$ 105 miliar.

Artinya, BI punya lebih banyak "amunisi" untuk menstabilkan rupiah.

Sayangnya, perang Rusia - Ukraina membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Perang tersebut juga membuat pelaku pasar kembali "membuang" mata uang utama Asia, meski rupiah masih mampu menguat di pekan ini.

Padahal, dua pekan lalu mayoritas mata uang Asia kembali diburu para pelaku pasar, tercermin dari hasil survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters. Hasil survei tersebut tentunya menjadi kabar bagus di saat bank sentral AS (The Fed) berencana menaikkan suku bunga dengan agresif.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis Kamis (10/3/2022) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,49, berbalik dari sebelumnya -0,01.

Padahal dua pekan lalu, menjadi pertama kalinya pelaku pasar mengambil posisi long rupiah sejak pertengahan November tahun lalu, kini sudah berbalik lagi.

Dari 9 mata uang utama Asia, kini hanya 2 saja yang masih mendapat posisi long, itu pun mengalami penurunan tajam. Yuan China dengan angka indeks -0,85, turun dari dua pekan lalu -0,99 dan baht Thailand yang hanya tersisa -0,08 dari sebelumnya -1,07.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas! Spekulator Mulai Borong Dolar AS Jelang Rapat The Fed

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular