Akhir Pekan Bursa Asia Mixed, Nikkei-Hang Seng Ambruk

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Jumat, 11/03/2022 16:51 WIB
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi dengan mayoritas melemah pada perdagangan Jumat (11/3/2022), karena investor kembali merespons negatif dari berlanjutnya perang antara Rusia-Ukraina dan inflasi Amerika Serikat (AS) yang kembali meninggi.

Indeks Nikkei Jepang ditutup ambruk 2,05% ke level 25.162,779, setelah sempat melesat nyaris 4% pada perdagangan Kamis kemarin. Saham konglomerat teknologi yakni SoftBank Group menjadi salah satu pemberat Nikkei pada hari ini, yakni ambruk hingga 6,21%.

Sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong berakhir ambles 1,61% ke level 20.553,789. Saham-saham teknologi China juga menjadi pemberat Hang Seng Hari ini. Saham Tencent ambles 4,47%, Alibaba tergelincir 5,52%, dan Meituan anjlok 6,1%.


Tak hanya Nikkei dan Hang Seng yang berbalik terkoreksi, indeks KOSPI Korea Selatan juga ditutup terkoreksi 0,71% ke level 2.661,28, ASX 200 Australia merosot 0,94% ke 7.063,6, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir turun tipis 0,02% ke posisi 6.922,602.

Namun untuk indeks Shanghai Composite China dan Straits Times Singapura berhasil bertahan di zona hijau pada hari ini. Indeks Shanghai ditutup menguat 0,41% ke level 3.309,75 dan Straits Times terapresiasi 0,28% ke posisi 3.249,66.

Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas ditutup melemah terjadi karena investor kembali merespons negatif dari berlanjutnya perang antara Rusia-Ukraina.

Konflik Rusia-Ukraina kembali memanas setelah negosiasi antara keduanya yang dijembatani oleh Turki tak banyak mencapai kesepakatan mengenai gencatan senjata maupun pembukaan jalur pengungsian untuk warga sipil.

Gagalnya negoisiasi antara dua negara penghasil energi dan pangan global tersebut membuat pasar komoditas ikut bereaksi. Baik harga minyak mentah dan gandum keduanya mengalami kenaikan.

Di lain sisi, investor juga khawatir dengan inflasi di AS yang kembali meninggi pada Februari lalu.

Inflasi AS per Februari melesat sebesar 7,9% (secara tahunan), menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dan melampaui ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 7,8%. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,8%, atau lebih tinggi dari estimasi sebesar 0,7%.

Hal ini pun mematik Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, yang mengatakan pada Kamis kemarin waktu setempat bahwa masyarakat AS akan menghadapi inflasi yang "sangat tidak nyaman" di tengah perang Rusia-Ukraina.

Inflasi yang tinggi berarti harga barang dan jasa di perekonomian melambung. Ketika harga suatu barang dan jasa di perekonomian semakin mahal dan tak terjangkau artinya ekonomi dalam bahaya karena daya beli masyarakat tergerus. Hal ini bisa berdampak pada terjadinya perlambatan atau bahkan kontraksi output yang sering disebut sebagai resesi.

Banyak pelaku pasar yang khawatir bahwa ekonomi AS akan kembali ke tahun 1970-an, di mana di saat tersebut, Negeri Paman Sam berada dalam salah satu periode terburuknya karena mengalami stagflasi.

Secara sederhana stagflasi dicirikan oleh tiga hal yang saling berkaitan yakni inflasi yang tinggi akan menyebabkan pengangguran juga melonjak, pada akhirnya kedua hal tersebut akan menyebabkan perekonomian tumbuh melambat atau bahkan jatuh ke jurang resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor