Wall Street Merah, Bursa Asia Dibuka Kebakaran.. IHSG Piye?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung melemah pada perdagangan Jumat (11/3/2022), setelah sehari sebelumnya sempat cerah bergairah karena investor kembali memfokuskan perhatiannya ke perang Rusia-Ukraina dan inflasi global.
Indeks Nikkei Jepang dibuka merosot 1,1%, Hang Seng Hong Kong ambles 2,72%, Shanghai Composite China ambrol 1,36%, Straits Times Singapura melemah 0,36%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,44%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,6%.
Bursa Asia-Pasifik yang cenderung berbalik arah ke zona merah pada hari ini mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street yang kembali terkoreksi pada penutupan perdagangan Kamis kemarin waktu setempat.
Indeks Dow Jones ditutup melemah 0,34% ke level 33.174,07, S&P 500 terkoreksi 0,43% ke posisi 4.259,51, dan Nasdaq Composite merosot 0,95% menjadi 13.129,96.
Koreksi terjadi di tengah gagalnya kembali negosiasi antara Ukraina dan Rusia yang dijembatani oleh Turki dengan tak banyak kesepakatan mengenai gencatan senjata maupun pembukaan jalur pengungsian untuk warga sipil.
Gagalnya negosiasi antara dua negara penghasil energi dan pangan global tersebut membuat pasar komoditas ikut bereaksi. Baik harga minyak mentah dan gandum keduanya mengalami kenaikan.
Harga komoditas energi dan pangan yang lebih tinggi menjadi ancaman lain bagi inflasi yang sekarang sudah melesat signifikan. Sentimen negatif lain datang dari rilis data inflasi AS yang ditunggu-tunggu banyak pihak.
Inflasi AS per Februari melesat sebesar 7,9% (secara tahunan), menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dan melampaui ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 7,8%. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,8%, atau lebih tinggi dari estimasi sebesar 0,7%.
"Situasi inflasi memburu, dan bukannya membaik. Bahan pokok menjadi kian mahal... di satu sisi harga BBM jadi biangnya, harga makanan dan rumah juga menjadi pendorong inflasi Februari," tutur John Leer, ekonom kepala Morning Consult, dikutip CNBC International.
Inflasi yang tinggi berarti harga barang dan jasa di perekonomian melambung. Ketika harga suatu barang dan jasa di perekonomian semakin mahal dan tak terjangkau artinya ekonomi dalam bahaya karena daya beli masyarakat tergerus.
Hal ini bisa berdampak pada terjadinya perlambatan atau bahkan kontraksi output yang sering disebut sebagai resesi.
Banyak pelaku pasar yang khawatir bahwa ekonomi AS akan kembali ke tahun 1970-an, di mana di saat tersebut, Negeri Paman Sam berada dalam salah satu periode terburuknya karena mengalami stagflasi.
Secara sederhana stagflasi dicirikan oleh tiga hal yang saling berkaitan yakni inflasi yang tinggi akan menyebabkan pengangguran juga melonjak, pada akhirnya kedua hal tersebut akan menyebabkan perekonomian tumbuh melambat atau bahkan jatuh ke jurang resesi.
Sementara itu di Eropa, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mempertahankan suku bunga acuannya, namun ECB mengatakan bakal mengakhiri program pembelian obligasi pada kuartal III tahun ini.
Namun penghentian pembelian obligasi tersebut dengan catatan bahwa data-data ekonomi sudah meyakinkan. Salah satunya adalah inflasi. Tidak hanya di AS saja yang mengalami peningkatan inflasi, negara-negara Eropa juga menghadapi hal serupa.
Inflasi di zona Euro terus mengalami kenaikan. Terakhir di bulan Februari 2022, inflasi di EU tercatat mencapai 5,8%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)