Terungkap! Rahasia Rupiah Perkasa Saat Gonjang Ganjing Perang
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah, rupiah, rupiah. Semua patut bertepuk tangan terhadap rupiah. Saat dunia gonjang ganjing akibat perang Rusia dan Ukraina, rupiah tetap kokoh di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah tetap stabil pada level 14.300-14.400 dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan dilihat secara year to date (ytd) posisi rupiah tak goyah, bahkan sempat menguat hingga level 14.200 per dolar AS.
Bandingkan dengan kebanyakan negara di dunia, khususnya Asia. Mata uangnya rontok karena tingginya ketidakpastian global. Baik itu dolar Singapura, bath Thailand, peso Filipina, yen Jepang, won Korea Selatan hingga lira Turki.
Apa rahasianya?
"Rupiah tetap stabil didukung fundamental Indonesia yang baik dan prospek yang positif," ungkap Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/3/2022)
Ekonomi Indonesia melanjutkan pemulihan pasca hantaman varian covid-19 delta, dengan realisasi pertumbuhan pada kuartal IV-2021 sebesar 5%. Awal tahun, meskipun diserang omicron, perekonomian diperkirakan masih tetap kokoh karena kasus berhasil dikendalikan tanpa ada pengetatan mobilitas.
Kondisi ini diharapkan terus berlanjut, juga dipengaruhi oleh masih tingginya harga komoditas internasional. Investor juga melihat Indonesia sebagai negara dengan imbal hasil yang menarik, sehingga layak menjadi tujuan penempatan modal.
"Daya tarik investasi di Indonesia juga tetap tinggi seiring potensi return yang menarik bagi investor," jelasnya.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Edi Susianto menambahkan, peranan harga komoditas yang melonjak berpengaruh besar pada pasokan valuta asing (valas) di tanah air.
Komoditas dengan harga yang naik antara lain batu bara yang sebulan naik 89% menjadi US$ 425,65/ton di pasar ICE (Newcastle). Nikel melonjak 250% dalam dua hari berturut-turut mencapai di atas US$ 100.000 per ton.
"Saya melihat supply demand valas di pasar forex masih sehat terutama sisi supply bersumber dari supply valas perusahaan-perusahaan eksportir dan juga dari investor asing di pasar saham," terangnya.
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam risetnya menyebutkan tekanan yang harus diwaspadai ke depan adalah keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve soal kenaikan suku bunga acuan dan arah kebijakan ke depan di tengah adanya gejolak akibat perang.
(mij/mij)