
Pasar Mata Uang Mulai Gonjang-Ganjing, Rupiah Tetap Tegar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia rontok melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (7/3). Rupiah menjadi salah satunya, tetapi dibandingkan mata uang utama Asia lainnya kinerja rupiah cukup bagus.
Melansir data Refinitiv, rupiah tercatat melemah 0,14% ke Rp 14.405/US$. Sepanjang perdagangan dihabiskan di zona merah, meski demikian rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ke tiga di Asia.
Hingga pukul 15:00 WIB, hanya yuan China yang mampu menguat melawan dolar AS, sementara yang lainnya rontok.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Meski mengalami pelemahan, pergerakan rupiah cukup stabil. Hal ini juga terlihat di pasar non-deliverable forward (NDF) yang tidak jauh berbeda sore ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
Periode | Kurs Jumat (7/3) pukul 8:53 WIB | Kurs Jumat (7/3) pukul 15:03 WIB |
1 Pekan | Rp14.425,5 | Rp14.408,5 |
1 Bulan | Rp14.482,5 | Rp14.441,0 |
2 Bulan | Rp14.512,5 | Rp14.468,5 |
3 Bulan | Rp14.623,0 | Rp14.502,5 |
6 Bulan | Rp14.743,0 | Rp14.599,7 |
9 Bulan | Rp14.743,0 | Rp14.731,0 |
1 Tahun | Rp14.817,2 | Rp14.846,0 |
2 Tahun | Rp15.326,0 | Rp15.342,1 |
Meski demikian, dalam tiga bulan ke depan, pasar mata uang diperkirakan akan gonjang-ganjing, dan sudah terlihat hari ini. Beberapa mata uang utama Asia pelemahnnya cukup tajam, ruppe India bahkan sempat jeblok 0,88% ke INR 77,02 yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.
Perang Rusia dan Ukraina yang semakin besar dampaknya ke perekonomian global membuat pasar mata uang gonjang-ganjing, dan dolar AS yang menyandang status safe haven diuntungkan.
Reuters melaporkan indeks volatilitas dolar AS Deutche Bank pada Rabu (2/3) pekan lalu melesat ke 9,13, level tertinggi sejak awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Indeks tersebut diperkirakan akan semakin meningkat, yang menjadi indikasi pasar mata uang akan mengalami gonjang-ganjing.
Survei yang dilakukan Reuters terhadap ahli strategi mata uang pada periode 28 Februari sampai 3 Maret menunjukkan sebanyak 72% memperkirakan volatilitas pasar mata uang akan mengalami peningkatan, dan 20% memprediksi akan terjadi peningkatan yang signifikan.
Serangan Rusia ke Ukraina membuat harga komoditas meroket. Sektor energi yang paling menjadi sorotan.
Harga minyak mentah jenis Brent meroket nyaris mencapai US$ 140/barel untuk pertama kalinya dalam 13 tahun terakhir. Harga batu bara terbang tinggi ke atas US$ 400/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Begitu juga dengan gas alam yang terus menanjak.
Kenaikan harga komoditas energi tersebut tentunya berisiko mengakselerasi inflasi di negara Barat, yang sudah tinggi dan di beberapa negara lainnya.
Alhasil, perekonomian ekonomi global diperkirakan akan terpukul. Berdasarkan CNBC Rapid Update, yang melakukan survei terhadap 14 analis menunjukkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan melambat menjadi 3,2% di tahun ini, dibandingkan proyeksi bulan Februari sebesar 3,5%.
Namun, para analis tersebut memperingatkan masih belum diketahui bagaimana respon perekonomian AS terhadap lonjakan harga minyak mentah.
Eropa diperkirakan akan lebih terpukul lagi. Barcalys memangkas produk domestik bruto (PDB) Benua Biru menjadi 3,5% dari sebelumnya 4,1%. JP Morgan bahkan memangkas proyeksinya hingga 1% menjadi 3,2%.
Dalam kondisi peningkatan volatilitas dan perekonomian global yang diprediksi merosot, mata uang safe haven seperti dolar AS, yen Jepang dan franc Swiss diperkirakan akan mengalami penguatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
