Ngeri Ini... Harga Minyak Diramal Bisa Naik ke US$ 185/Barel!

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
07 March 2022 13:35
Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah terus melambung akibat konflik yang berkecamuk di Eropa Timur. Konflik ini melibatkan Rusia yang notabene salah satu raja minyak dunia.

Dunia dibuat cemas oleh kondisi di sana. Sebab sanksi yang dijatuhkan kepada dunia bisa membuat pasokan minyak dunia terganggu. Akibatnya harga minyak mentah dunia melambung hingga di atas US$ 120/barel.

Pada Senin (7/3/2022) pukul 10:19 WIB harga minyak mentah dunia brent tercatat US$ 129,02, melejit 9,24% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. Ini merupakan harga tertinggi sejak tahun 2008.

Harga minyak jenis light sweet WTI tercatat US$ 124,34/barel, melesat 7,5% dari posisi akhir pekan lalu. Juga tertinggi sejak tahun 2008.

Para analis memiliki pandangan harga minyak mentah dunia masih akan tetap tinggi pada tahun 2022. Survei yang dihimpun Reuters terhadap 35 ekonom dan analis memperkirakan minyak mentah Brent akan bergerak di rata-rata sekitar US$ 91,15/ barel tahun ini. Jumlah ini melonjak dari konsensus yang dihimpun bulan Januari sebesar US$79,16/barel. Ini juga lebih tinggi dari rata-rata tahun lalu yaitu US$ 70,98/barel.

Minyak mentah WTI diprediksi berada di rata-rata US$87,68/barel pada tahun 2022. Lebih tinggi dibandingkan konsensus US$ 76,23/barel yang dihimpun pada bulan Januari. Juga lebih tinggi dari rata-rata harga sepanjang 2021 sebesar US$ 68,13/barel.

JP Morgan memiliki pandangan paling bullish dengan memperkirakan harga minyak bisa mencapai US$ 185 pada akhir 2022. Dengan catatan jika gangguan terhadap ekspor Rusia berlangsung selama itu. Sementara untuk pergerakan rata-rata minyak dunia, JP Morgan memperkirakan rata-rata untuk tahun ini US$ 98/barel.

Prediksi rata-rata tertinggi untuk tahun 2022 datang dari Rabobank dan Raiffeisen dengan masing-masing US$ 111,43 dan US$ 110/barel.

"Premi risiko akan menembus atap. Dengan organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya juga tidak dapat mengkompensasi kekurangan (pasokan) tersebut secara memadai, " kata Christian Reuter, direktur senior strategi sektor NORD Landbk.

Ketimpangan suplai dan permintaan minyak ini diprediksi memburuk karena beberapa anggota OPEC+ masih berkutat dengan persoalan di lini produksi, sehingga memperburuk situasi ketat di pasar.Badan Energi Dunia (IEA) mengatakan kesenjangan antara target dan produksi pada Januari telah melebar menjadi 900.000 bph. Artinya tangki pasokan minyak dunia mulai kosong.

Kemudian, diperparah oleh sanksi dari blok barat kepada Rusia. Meskipun perdagangan minyak dan gas tidak secara langsung menjadi target hukuman terhadap Rusia, tetapi pelanggan ragu-ragu untuk membeli minyak mentah dari negara beruang merah tersebut.

Ditambah gangguan produksi minyak ini terjadi di tengah re-opening ekonomi dunia dari pandemi Covid-19 yang membuat mobilitas masyarakat kembali normal. Akhirnya minyak jadi barang langka dan jadi mahal.

"Harga bisa melonjak hingga US$150/barel dan bahkan lebih tinggi jika AS dan sekutunya mengambil langkah yang lebih agresif untuk mengurangi ekspor minyak dari Rusia, karena tidak ada kapasitas cadangan yang cukup untuk mengimbangi pengurangan signifikan dalam ekspor Rusia," kata John Paisie, presiden dari Penasihat Strata.

Diperkirakan 8% dari pasokan global telah terganggu dalam beberapa hari terakhir. Kekurangan itu mungkin tidak bisa diimbangi oleh keputusan IEA untuk melepaskan 60 juta barel dari cadangan darurat atau kemungkinan kembalinya pasokan Iran, kata para analis.

"Rilis (minyak mentah) IEA mewakili penggantian satu bulan terhadap potensi gangguan terhadap sepertiga dari 6 juta barel per hari (bph) dari arus ekspor minyak laut Rusia," kata Goldman Sachs,

"Deeskalasi jangka pendek atau peningkatan yang lebih cepat di OPEC . Output tidak akan menggagalkan harga (minyak) yang lebih tinggi secara struktural," tambahnya.

Analis energi utama Bank DBS Suvro Sarkar mengatakan mungkin ada beberapa normalisasi pada paruh kedua 2022, tetapi mungkin tidak ke tingkat pra-konflik. Konsensus kuartalan yang dihimpun Reuters menunjukkan rata-rata harga minyak Brent pada kuartal pertama sebesar US$ 94,66/barel. Kemudian akan naik menjadi US$ 97,07/barel. Lalu turun pada kuartal terakhir menjadi US$ 87,08/barel.

Konsensus harga pada kuartal pertama bisa dilewati. Dengan rata-rata harga minyak mentah dunia brent saat ini US$ 92,48/barel dan asumsi harga bertahan hingga akhir kuartal ini, rata-rata harga minyak mentah dunia akan menjadi US$ 102,66/barel.

Adapun risiko  dari harga minyak yang tinggi adalah perlambatan ekonomi yang merupakan akibat dari konsekuensi yang tidak diinginkan yang berasal dari sanksi dan kenaikan harga energi. Ditambah dengan ekonomi global yang masih berurusan dengan masalah rantai pasokan, kata Paisie dari Stratas.

Forecast Harga MinyakSumber: Reuters

Dengan harga dunia berada di US$ 120/barel, apa dampaknya buat Indonesia?

Harga minyak mentah dunia telah melambung dan melewati harga US$ 120/barel. Akibatnya harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) turut terkerek.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada Februari 2022 ICP sebesar US$ 95,72 per barel dari Januari 2022 yang hanya US$ 85,89 per barel.

Kenaikan ICP ini akan berdampak kepada APBN baik di sisi pendapatan maupun belanja negara. Dari sisi pendapatan, ICP akan berpengaruh langsung terhadap pendapatan negara yang berbasis komoditas migas yaitu Pajak Penghasilan (PPh) migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA migas. Pendapatan negara pun bisa meningkat.

Namun, secara tidak langsung kenaikan ICP juga akan berdampak lebih luas terhadap ekonomi Indonesia. Ini karena minyak mentah diolah untuk membuat bahan bakar minyak (BBM) sehingga secara langsung akan mempengaruhi harga suatu barang.

Di sisi lain, kenaikan ICP pun akan berdampak terhadap kenaikan belanja negara. Hal ini terkait dengan subsidi energi khususnya BBM dan LPG. Selain BBM dan LPG, belanja negara yang akan ikut terkerek adalah Dana Bagi Hasil (DBH), anggaran pendidikan, dan kesehatan.

Dalam dokumen Nota Keuangan dan APBN 2022, setiap kenaikan harga minyak rata-rata US$ 1 dari asumsi akan berdampak positif (dengan catatan seluruh asumsi lainnya dianggap tetap atau ceteris paribus).

Jadi, jika ICP berhasil terungkit hingga US$ 100/barel, belanja negara akan naik Rp 2,6 triliun. Di sisi lain pendapatan negara naik lebih tinggi yaitu Rp 3 triliun. Dengan demikian secara neto ada 'keuntungan' Rp 400 miliar.

Asumsi harga minyak dalam APBN 2022 adalah US$ 63/barel. Jika rata-rata harga minyak sepanjang tahun ini bisa US$ 100/barel, maka ada selisih US$ 37/barel. (dengan catatan seluruh asumsi lainnya dianggap tetap atau ceteris paribus).

Kalau setiap kenaikan US$ 1 bisa menambah pundi-pundi kas negara sebesar Rp 400 miliar, maka selisih US$ 37/barel akan membuat APBN yang dikelola Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 'cuan' Rp 14,8 triliun. Rinciannya pendapatan negara menjadi sebesar Rp 111 triliun dan belanja negara akan meningkat Rp 96,2 triliun.

Bahkan jika ICP masih bisa surplus sekitar US$ 22,8 triliun. Dengan rincian pendapatan negara menjadi US$ 171 triliun dan belanja akan menjadi 148,2 triliun.

Akan tetapi, tidak bisa semata-mata memandang Indonesia akan diuntungkan karena terjadi surplus anggaran. Sebab pemerintah juga harus menanggung beban subsidi.

"Pemerintah juga harus tetap berhati-hati dalam menyalurkan subsidi. Hal ini melihat realisasi belanja subsidi energi pada 2021 yang mencapai Rp 140,4 triliun atau 127,04% dari pagu APBN 2021," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov kepada CNBC Indonesia, Selasa (02/03/2022).

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi memaparkan, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun. Artinya, bisa berdampak pada kenaikan beban APBN sebesar Rp 4,17 triliun setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel.

Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut dengan asumsi ICP sebesar US$ 63 per barel.

Dengan harga minyak Indonesia (ICP) kini US$ 95,72/barel maka artinya ICP telah melampaui asumsi APBN. Bila harga minyak dunia ini terus "mengamuk", maka tentunya beban negara akan semakin besar dan subsidi BBM dan LPG ini bisa menembus Rp 100 triliun.

Sehingga ada potensi adanya kenaikan harga BBM dan LPG secara menyeluruh. Sehingga dapat membuat biaya konsumsi masyarakat menjadi mahal dan berujung pada inflasi yang 'kurang sehat' karena akibat kenaikan harga bukan karena daya beli masyarakat yang meningkat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Arab & Rusia Kompak Kurangi Produksi, Harga Minyak Melesat 2%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular