Aset Kripto Sempat Terbang Meski Masih Perang, Kok Bisa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang digital atau kripto kembali diperdagangkan di zona hijau pada hari ini, meski konflik antara Rusia dengan Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda damai.
Per pukul 09:00 WIB, kripto terbesar dan ternama yakni Bitcoin kembali menguat 1,69% ke level harga US$ 44.009,31/koin atau setara dengan Rp 631.753.645/koin (asumsi kurs Rp 14.355/US$).
Tak hanya Bitcoin saja, mayoritas kripto utama juga masih terpantau menguat, meski penguatannya cenderung terpangkas dari penguatan yang terjadi pada perdagangan Selasa kemarin.
Ethereum terapresiasi 0,43% ke level US$ 2.931,71/koin (Rp 42.084.697/koin), BNB melesat 3,32% ke US$ 409,29/koin (Rp 5.875.358/koin), Terra melonjak 4,13% ke US$ 92,03/koin (Rp 1.321.091/koin), dan Solana bertambah 1,06% ke US$ 98,18/koin (Rp 1.409.374/koin).
Hanya XRP, Cardano, dan Avalanche yang mulai terkoreksi pada hari ini. XRP turun tipis 0,04% ke level 0,7732/koin (Rp 11.099/koin), Cardano melemah 1,83% ke US$ 0,9509/koin (Rp 13.650/koin), dan Avalanche terkoreksi 1,95% ke US$ 85,91/koin (Rp 1.233.238/koin).
Bahkan pada perdagangan Selasa kemarin, aset kripto sempat 'beterbangan' hingga belasan persen, termasuk Bitcoin.
Hal ini menjadikan pertanyaan, mengapa kripto masih cukup cerah meski perang masih bergelut di Ukraina?
Alasan pertama yakni investor mulai mengabaikan sentimen dari konflik Rusia-Ukraina. Hal ini terlihat dari indeks Fear & Greed Bitcoin, indeks yang mengukur ketakutan dan keberanian pelaku pasar di kripto, naik dari wilayah "ketakutan ekstrem" ke level netral.
Selain itu, adanya peningkatan permintaan akan Bitcoin dan beberapa koin digital (token) seperti Tether (USDT) dan USD Coin (USDC) di Rusia dan Ukraina juga turut menjadi penyebab kripto lebih tahan banting daripada saat invasi Rusia dimulai.
Investor veteran, Mark Mobius mengatakan reli Bitcoin pada perdagangan kemarin dan cenderung berlanjut pada hari ini dapat dikaitkan dengan orang Rusia yang membeli cryptocurrency.
"Saya tidak akan menjadi pembeli, tetapi jika saya menjadi orang Rusia, saya akan membelinya," kata Mobius kepada CNBC International pada Selasa kemarin.
"Itulah alasan mengapa Bitcoin menunjukkan kembali kekuatannya, karena Rusia memiliki cara untuk mendapatkan uang dan mengeluarkan kekayaan mereka," tambah Mobius, yang juga pendiri Mobius Capital Partners.
Data dari Kaiko menunjukkan bahwa transaksi di pertukaran Bitcoin terpusat di Rusia dan Ukraina melonjak ke level tertingginya dalam beberapa hari terakhir, setelah adanya sanksi keuangan dari Negara Barat.
"Jika bukan karena Bitcoin Rusia akan benar-benar bermasalah dengan semua akibat dari sanksi yang dikenakan oleh Negara Barat," ujar Mobius.
Ari Redbord dari perusahaan intelijen blockchain TRM Labs juga mengatakan bahwa Rusia sementara akan beralih ke cryptocurrency untuk menghindari dampak dari sanksi ekonomi.
"Meski mereka cenderung beralih sementara ke kripto, tetapi sejatinya kripto tidak dapat digunakan dalam skala yang dapat terhindar dari dampak sanksi," kata Redbord, dilansir dari CNBC International.
Tak hanya Bitcoin saja, permintaan akan token stablecoin juga meningkat sejak aksi perang Rusia ke Ukraina dimulai, yakni pada Kamis pekan lalu.
Clara Medalie, direktur riset di penyedia data kripto Kaiko mencatat bahwa volume transaksi Tether (USDT) berdenominasi rubel naik lebih dari dua kali lipat dari volume Bitcoin, yang menunjukkan bahwa stablecoin dapat memainkan peran yang lebih penting sebagai aset aman dari ancaman sanksi ekonomi.
"Sebagian besar stablecoin seperti Tether atau USD Coin (USDC) dikeluarkan oleh perusahaan terpusat yang dapat menjadi sasaran sanksi, yang dapat memaksa mereka untuk memantau transaksi," kata Medalie, dikutip dari CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)