Mayday Mayday, Wall Street Jatuh!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
Senin, 28/02/2022 21:39 WIB
Foto: AP/Courtney Crow

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) berada di zona merah pada sesi awal perdagangan hari ini. Sebelum perdagangan dibuka, nasib Wall Street memang sudah bisa ditebak, pasti melemah.

Pada Senin (28/2/2022) pukul 21:34 WIB, tiga indeks utama di bursa saham New York mengawali hari di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq 100 masing-masing anjlok 1,37%, 1,14%, dan 0,68%.

Kejatuhan ini sudah diperkirakan sebelumnya. Di pasar futures, tiga indeks tersebut memang sudah melemah sebelum perdagangan resmi dibuka.


Pada pukul 20:03 WIB, nilai futures DJIA ambles 1,11%. Sementara S&P 500 dan Nasdaq ambrol masing-masing 1,23% dan 1,13%. Jika terus melemah sampai tutup 'lapak', maka S&P 500 dan Nasdaq akan menjalani bulan terburuk sejak Maret 2020, kala pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) ditetapkan sebagai pandemi global.

Kali ini, bukan pandemi yang bikin investordi New York kelabakan. Melainkan serangan Rusia ke Ukraina, yang memasuki hari kelima. Terbaru, pasukan Rusia dikabarkan berhasil menguasai dua kota di wilayah Tenggara Ukraina yaitu Berdyansk dan Enerhodar.

Ledakan demi ledakan pun terus terjadi di dua kota terbesar Ukraina, Kyiv dan Kharkiv. Mengutip Reuters, seorang pejabat di Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) menyebut Rusia sudah menembakkan lebih dari 350 misil ke wilayah Ukraina. Akibatnya, hampir 400.000 rakyat Ukraina, mayoritas perempuan dan anak-anak, mengungsi ke sejumlah negara tetangga.

Dunia ramai-ramai mengecam aksi Rusia. Negara-negara Barat (plus Jepang dan Korea Selatan) mendepak Rusia dari sistem pembayaran global SWIFT. Sanksi ini membuat Rusia tidak bisa mengakses pasar.

Korea Selatan menambah sanksi lain yakni melarang ekspor komoditas strategis ke Rusia, terutama semikonduktor. Larangan ekspor ke Rusia juga ditempuh oleh negara tetangga Indonesia, Singapura.

"Kondisi pasar membuat saya melihat tidak ada ruang untuk penguatan. Begitu banyak ketidakpastian, terutama dari sisi konflik bersenjata. Investor masih ingin 'bermain' saham, tetapi sangat defensif," terang Sam Stovall, Chief Investment Strategist di CFRA Research yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.


(aji/aji)