Harta Crazy Rich Rusia Raib Rp 1.810 T Karena Perang Ukraina

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Sabtu, 26/02/2022 14:40 WIB
Foto: Rakyat Donetsk berpesta kembang api setelah wilayahnya dan Luhansk di Ukraina timur diakui Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai negara merdeka. (AP/Alexei Alexandrov)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Jumat kemarin waktu setempat memanggil beberapa pemimpin bisnis negara untuk pertemuan di Kremlin. Setidaknya ada 13 miliarder hadir dalam pertemuan itu.

"Apa yang terjadi saat ini saya perlu memanggil anda semua," kata Putin kepada para 13 miliarder Rusia.

Tak satu pun dari 13 miliarder tersebut berkomentar, beberapa mungkin terlalu takut pada Putin untuk berbicara menentang adanya operasi militer. Tapi mereka tidak kebal.


Serangannya di Ukraina tidak hanya mendatangkan malapetaka bagi masyarakat Ukraina, tetapi juga membuat pasar di seluruh dunia tidak stabil dan bahkan merugikan sekutu terdekatnya.

Bahkan, para elit miliarder Rusia terpaksa kehilangan kekayaan hingga puluhan miliar dolar karena jatuhnya pasar saham Rusia dan mata uang rubel jatuh setelah Putin mengerahkan operasi militer skala penuh ke Ukraina.

Forbes mencatat sekitar 116 miliarder Rusia telah kehilangan kekayaan lebih dari US$ 126 miliar atau sekitar Rp 1.810 triliun (asumsi kurs Rp 14.365/US$) sejak 16 Februari lalu.

Dari jumlah itu, kekayaan para miliarder diperkirakan berkurang sekitar US$ 71 miliar (Rp 1.020 triliun) pada Kamis lalu, setelah indeks saham Moex Rusia ditutup ambruk hingga 33% dan rubel jatuh ke rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Ancaman sanksi yang meluas di luar lingkaran kecil oligarki miliarder dan bisnis yang telah ditargetkan oleh AS, Inggris, dan Uni Eropa dapat membuat kekayaan orang kaya Rusia makin tergerus.

Setidaknya ada lima miliarder Rusia yang datang ke pertemuan Kremlin pada Kamis lalu, yakni Alekperov, Mikhelson, Mordashov, Potanin dan Kerimov. Secara keseluruhan, setidaknya 11 miliarder Rusia kehilangan kekayaannya sebesar US$ 1 miliar (Rp 14,4 triliun) pada Kamis lalu.

Alekperov, mantan pekerja kilang rig laut minyak Caspain dan mantan menteri perminyakan Uni Soviet yang mendirikan Lukoil, produsen minyak independen terbesar Rusia, merupakan miliarder yang kekayaannya berkurang cukup besar.

Dia melihat kekayaanya menyusut sebesar US$ 4,2 miliar (Rp 60,3 triliun), atau sekitar 17,1% dari total kekayaannya, karena stok minyak dan gas Rusia jatuh. Saham Lukoil, yang terdaftar di London dan Moskow, ambruk hingga lebih dari 30% sejak dimulainya operasi militer Rusia di Ukraina.

Lukoil menjadi sasaran AS bersama dengan perusahaan energi Rusia lainnya seperti Rosneft, di mana perusahaan produsen minyak di Rusia tersebut terkena sanksi keuangan dan teknologi atas perebutan Krimea oleh Rusia dan sekali lagi dapat menjadi sasaran Washington, Brussel dan London.

Sanksi 'Londongrad'

Miliarder Rusia lainnya, yakni Gennady Timchenko pekan ini menjadi sasaran sanksi Inggris, juga termasuk di antara mereka yang kekayaannya turun drastis. Timchenko yang memiliki saham di berbagai bisnis Rusia, termasuk perusahaan gas Novatek dan produsen petrokimia Sibur kehilangan kekayaannya sekitar US$ 4,2 miliar (Rp 60,3 triliun).

Timchenko yang disebut sebagai orang dalam lingkaran Putin juga terkena sanksi yang dijatuhkan oleh Departemen Keuangan AS, setelah aneksasi Rusia atas semenanjung Krimea Ukraina pada Maret 2014.

Sanksi itu dipimpin Timchenko, yang mengaku telah bertemu Putin pada awal 1990-an, untuk menjual 43% sahamnya di Gunvor, yang saat itu merupakan grup perdagangan minyak terbesar keempat di dunia.

AS telah mengklaim bahwa Putin sendiri memiliki investasi di Gunvor dan mungkin memiliki akses ke dana kelompok itu. Namun, pihak dari Gunvor sendiri membantah atas tuduhan tersebut.

Pemerintah Inggris pada awal pekan ini juga telah memberikan sanksi kepada tiga orang Rusia super kaya lainnya, termasuk mantan menantu (dan mantan miliarder) Putin, yakni Kirill Shamalov.

Inggris membekuan aset bank-bank Rusia dan melarang warga negara Rusia untuk menyimpan lebih dari US$ 66.000 (50.000 pound) atau Rp 948 juta di rekening bank Inggris.

Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson juga telah mendorong para pemimpin Barat untuk melangkah lebih jauh dan mengeluarkan Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT, sebuah sistem pembayaran yang digunakan untuk menerima mata uang asing.

Presiden Ceko Milos Zeman, yang pernah menjadi salah satu pendukung paling tajam Putin di Eropa, juga menyerukan agar Rusia dikeluarkan dari SWIFT karena "kejahatan terhadap perdamaian".

Anggota parlemen oposisi Inggris menyarankan kepada Johnson untuk melangkah lebih jauh dan menyita aset miliarder Rusia lainnya yakni Roman Abramovich.

Miliarder yang juga pemilik klub sepak bola Liga Premier yakni Chelsea FC, menjadi salah satu orang terkaya di Rusia berkat industri minyak Rusia setelah jatuhnya Uni Soviet.

Abramovich telah berulang kali terperangkap dalam ketegangan diplomatik yang telah berlangsung lama antara London dan Moskow.

"Kami memiliki lebih banyak orang kaya Rusia dalam daftar kami, yang siap kami berikan sanksi," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss mengatakan kepada radio LBC pada Rabu, dikutip dari Forbes.


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mengejutkan! Bank Sentral Rusia Pangkas Suku Bunga Jadi 20%