
IMF Peringatkan Dampak Perang, Proyeksi PDB Dipangkas Lagi?
![Managing Director Kristalina Georgieva, September 25, 2019, Washington. [Photo: AFP/Eric Baradat]](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/03/25/6338a7b7-c28a-4f86-9ec9-030325d97b23_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Pelaksana Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan perang yang terjadi di Ukraina memberikan risiko yang signifikan ke kawasan tersebut dan ke perekonomian dunia.
IMF juga dikatakan saat ini masih terus menilai dampak yang ditimbulkan dari invasi Rusia ke Ukraina. Ia juga mengatakan siap membantu Ukraina dan negara-negara yang terdampak dari perang tersebut, sebagaimana dilansir AFP, Kamis (24/2). Georgieva mengatakan IMF kini sedang memproses pinjaman senilai US$ 2,2 miliar untuk Ukraina, dan siap membantu negara-negara lain yang juga terdampak.
Presiden Bank Dunia David Malpass juga menyatakan kesiapannya membantu Ukraina.
"Kami siap menyediakan bantuan secepatnya untuk Ukraina dan menyiapkan berbagai opsi untuk mendukung, termasuk pembiayaan yang bisa dicairkan segera," kata Malpass sebagaimana dilansir AFP.
Malpass mengatakan Bank Dunia dan IMF juga berkoordinasi memonitor dampak invasi Rusia.
Pada Januari lalu, IMF sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 4,4% dibandingkan proyeksi yang diberikan sebelumnya 4,9%. Pemangkasan tersebut dilakukan karena adanya "hambatan" yang disebabkan penyebaran virus corona varian Omicron.
Kini, invasi Rusia ke Ukraina bisa jadi akan menimbulkan "hambatan" lain, yang membuat IMF kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya.
Aksi Rusia tersebut membuat harga komoditas energi melambung tinggi. Minyak mentah jenis Brent menyentuh US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014. Harga gas alam juga melesat, begitu juga batu bara yang nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton.
Kenaikan tersebut tentunya berisiko memicu kenaikan inflasi yang saat ini sedang menjadi masalah di negara-negara Barat.
Di Amerika Serikat misalnya, inflasi di bulan Januari sebesar 7,5% tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed (bank sentral AS) akan agresif menaikkan suku bunga.
Jika inflasi semakin tinggi, maka The Fed bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi hal tersebut akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Ahli strategi pasar JP Morgan Aset Managament, Hugh Gimber, mengatakan konflik di Ukraina akan lebih memberikan tekanan bagi bank sentral, dan risiko kesalahan mengambil kebijakan menjadi semakin besar.
"Kita tahu, memasuki tahun 2022 bank sentral menghadapi situasi yang sulit untuk bisa mengambil kebijakan yang seimbang. Terlalu cepat menaikkan suku bunga akan berdampak pelambatan ekonomi yang dalam, sebaliknya terlalu lambat menaikkan suku bunga inflasi dalam jangka menengah bisa lepas kendali," kata Gimber kepada CNBC International, Selasa (22/2).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Waspada! IMF Sebut Perang Bisa Merusak Ekonomi Global