
Libas Dolar AS Saat Perang Berkecamuk, Ini "Beking" Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Meredanya kekhawatiran akan perang yang lebih besar terjadi di Ukraina membuat rupiah mampu menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (25/2). Selain itu, aliran modal yang terus mengalir ke dalam negeri membuat rupiah perkasa.
Rupiah pada hari ini sukses mencatat penguatan 0,1% di Rp 14.365/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Presiden AS, Joe Biden, tidak merespon invasi Rusia ke Ukraina dengan tindakan militer. Biden hanya memberikan sanksi ekonomi bagi Rusia. Hal ini membuat risiko terjadinya perang besar menyusut, dan membuat sentimen pelaku pasar membaik.
"Hari ini saya mengizinkan sanksi tambahan yang lebih kuat, dan pembatasan apa saja yang bisa diekspor ke Rusia. Ini akan membebani ekonomi Rusia secara langsung dan dari waktu ke waktu," kata Biden sebagaimana diwartakan CNBC International.
Sementara itu Presiden Vladimir Putin mengatakan Rusia tidak akan merusak perekonomian dunia.
"Rusia masih merupakan bagian dari perekonomian dunia. Kami tidak akan membahayakan sistem perekonomian dunia selama kami menjadi bagian di dalamnya," kata Putin.
Pasca pidato kedua presiden tersebut, indeks volatilitas (VIX) yang menjadi indikator ketakutan pelaku pasar juga berbalik turun 2,26% ke 30,32 pada perdagangan Kamis kemarin. Di awal sesi, indeks ini sempat meroket setelah meroket nyaris 22% ke 37,79.
Selain itu, aliran modal yang deras masuk ke Indonesia menjadi "beking" rupiah melawan dolar AS. Kemarin saat mata uang utama Asia rontok, pelemahan rupiah termasuk yang paling kecil.
Investor asing masih terus mengalirkan modalnya ke dalam negeri. Di pasar saham, investor asing tercatat melakukan kasi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,14 triliun di pasar reguler, sementara jika menggabungkan di pasar nego dan tunai, net buy tercatat sebesar Rp 1,07 triliun.
Sepanjang pekan ini investor asing selalu mencatat net buy dengan total 4,55 triliun.
Capital inflow juga terjadi di pasar obligasi bulan ini. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.
Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.
Selain itu pasar juga berfokus pada peluang kenaikan suku bunga di AS pada bulan depan.
Beberapa pejabat elit The Fed sudah angkat bicara terkait kemungkinan seberapa besar kenaikan suku bunga akan dilakukan.
Terbaru, Dewan Gubernur The Fed, Christoper Waller, yang mendukung kenaikan sebesar 50 basis poin. Menurutnya hal ini bisa dilakukan agar suku bunga bisa mencapai 1% - 1,25% di awal musim panas (awal Juli).
"Saya memperkirakan inflasi masih akan tinggi dan hanya akan menunjukkan penurunan yang moderat dalam beberapa bulan ke depan," kata Waller saat berbicara di Universitas Santa Barbara sebagaimana dilansir AFP, Kamis (24/2).
"Oleh karena itu, saya percaya suku bunga harus berada di kisaran 1% - 1,25% pada awal musim panas" tambahnya.
Dua pekan lalu, pasar juga melihat adanya probabilitas lebih dari 90% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin, tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group.
![]() |
Tetapi saat ini, probabilitas tersebut jauh menurun, menjadi 17,2% saja. Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin bulan depan, dengan probabilitas sebesar 82,8%. Hal ini membuat dolar AS menjadi kurang bertenaga.
Hal ini tidak lepas dari banyaknya pejabat The Fed yang tidak mendukung kenaikan yang agresif, ditambah lagi dengan invasi Rusia ke Ukraina yang bisa memberikan dampak ke perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
