
Rusia Serang Ukraina... Gimana Nasib Rupiah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini (24/2/2022) setelah kemarin menguat. Banyaknya tekanan eksternal dan eskalasi tensi geopolitik Rusia Ukraina menekan Mata Uang Garuda.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan terkoreksi ke Rp 14.350/US$. Pada pukul 11:00 WIB, Mata Uang Garuda kembali terkoreksi lebih tajam 0,28% ke Rp 14.375/US$.
Performa dolar AS di pasar spot memang sedang menguat, tercatat penguatan sebesar 0,24% ke US$ 96,418. Di Asia, hanya Yen Jepang yang mampu menguat terhadap dolar AS, sementara mayoritas mata uang di Asia melemah.
Dari sisi fundamentalnya, AS dan negara-negara barat telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia dengan menyetop transaksi finansial, perdagangan, hingga ekspor energi menggunakan kurs dolar AS. Namun, AS dan negara sekutunya belum pernah memberikan sanksi dengan proyeksi senilai US$ 1,5 triliun dari perdagangan dunia. Gedung Putih AS mengatakan bahwa sektor finansial Rusia menggunakan lebih dari 80% transaksi hariannya dengan dolar AS.
Namun, berdasarkan data World Bank dan United Nations (UN) menunjukkan bahwa sanksi ekonomi di 2014 terhadap Rusia karena telah menyerang Krimea Ukraina, Rusia mengganti negara tujuan ekspor terbesarnya ke China. Maka dari itu, ada peluang jika sanksi ekonomi terbaru akan mendorong Rusia untuk memperdalam hubungan perdagangannya dengan Beijing dalam upaya menghindari sanksi ekonomi dari AS dan negara barat.
Sisi lainnya, Presiden Federal Reserve/The Fed San Francisco Mary Daly mengharapkan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuannya setidaknya 4 kali tahun ini atau mungkin lebih dari itu untuk menghentikan inflasi yang kian meningkat. Dia juga menambahkan bahwa The Fed sebaiknya mempertimbangkan kenaikan yang lebih besar dari setengah persentase poin, walaupun proyeksinya The Fed akan menaikkan sekitar 25 basis poin di Maret.
Menurut Direktur Investasi Commonwealth Brad McMillan, situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga membuat pasar menjadi bergejolak dan berimbas kepada rantai pasokan energi dan pangan yang dapat membuat inflasi lebih tinggi daripada seharusnya. Namun, penurunan yang terjadi lebih kecil dari yang di perkirakan.
"Volatilitas pasar yang terjadi masih normal karena penurunan yang kita lihat sejauh ini lebih kecil dari yang diperkirakan karena kekuatan fundamental yang terus berlanjut," tambah McMillan dikutip dari CNBC International.
Sehingga, dolar AS masih dapat menguat di pasar spot walaupun eskalasi tensi di Eropa Timur membuat pasar bergejolak dan menekan rupiah, walaupun kemarin Mata Uang Garuda sempat perkasa terhadap dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer