Dolar AS Enggak Laku! Rupiah Jadi Juara 3 di Asia
Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi tensi geopolitik seharusnya menguntungkan bagi dolar Amerika Serikat (AS) yang menyandang status safe haven. Tetapi nyatanya dolar AS malah enggak laku dan terpuruk di Asia pada perdagangan Rabu (23/2).
Rupiah hari ini sukses mencatat penguatan 0,18% ke Rp 14.335/US$, melansir data Refinitiv. Tidak hanya rupiah, nyaris semua mata uang utama Asia menguat. Hingga pukul 15:00 WIB, rupiah dengan penguatan 0,18% menjadi yang terbaik ketiga, hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 0,49% dan peso Filipina 0,43%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Meski tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina sedang memanas, yang juga menyeret Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya, tetapi dolar AS tidak serta merta menguat. Artinya ada faktor lain yang mempengaruhi yakni ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed (bank sentral) AS pada bulan depan.
Eskalasi tensi geopolitik yang membuat harga minyak mentah melesat dikatakan membuat posisi The Fed semakin rumit.
Kenaikan harga minyak mentah bisa memicu inflasi serta pelambatan ekonomi.
"Kenaikan harga minyak mentah membuat situasi semakin rumit. Ada skenario pertumbuhan ekonomi akan terpukul secara substansial. Ada skenario kenaikan harga tidak akan memberikan dampak yang besar ke ekonomi juga mendorong inflasi," kata Bruce Kasman, kepala ekonom JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International.
Kasman memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin di bulan depan, tetapi akan diikuti 6 kali kenaikan lagi.
Pasar juga kini melihat kenaikan sebesar 25 basis poin paling mungkin dilakukan.
Ekspektasi tersebut berubah dari sebelumnya 50 basis poin. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group pagi ini, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 71,2% suku bunga akan dinaikkan sebesar 25 basis poin, pada pekan lalu probabilitasnya bahkan mencapai 100%.
Padahal hanya tujuh hari sebelumnya, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin dengan probabilitas lebih dari 90%.
Hal ini yang membuat dolar AS tidak terlalu perkasa meski terjadi eskalasi geopolitik.
Sementara itu dari dalam negeri, aliran modal asing yang terus masuk mampu menopang penguatan rupiah.
Dari pasar saham, investor asing masih terus memborong saham-saham di dalam negeri. Aksi beli bersih (net buy) pada hari ini tercatat sebesar sebesar Rp 862 miliar. Dalam dua hari pertama pekan ini, net buy tercatat sekitar Rp 1,4 triliun, dan dalam 2 minggu sebelumnya Rp 10 triliun.
Di pasar obligasi sekunder juga terjadi hal yang sama. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasca obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.
Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.
Di pasar primer, lelang surat berharga syariah negara (SBSN) atau Sukuk Negara juga banjir peminat.
Dalam proses lelang tersebut, incoming bids yang masuk mengalami kenaikan menjadi Rp 33,5 triliun. Adapun incoming bids lelang sebelumnya yang digelar pada tanggal 8 Februari 2022 lalu, mencapai Rp 29,4 triliun.
Dari incoming bids tersebut yang dimenangkan pemerintah dalam lelang hari ini sebesar Rp 9 triliun, lebih rendah dari target indikatif yang ditetapkan pemerintah sebelumnya sebesar Rp 11 triliun.
Derasnya aliran modal tersebut mampu menjaga kinerja rupiah melawan dolar AS dalam beberapa pekan terakhir. Hingga minggu lalu, rupiah sudah mencatat penguatan 3 pekan beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)