AS-Eropa Kompak Beri Sanksi, Gimana Kesiapan Ekonomi Rusia?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketika Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014 lalu, Uni Eropa, AS, dan negara-negara lain menghantam Moskow dengan hukuman keras secara ekonomi. Individu dan organisasi Rusia sejak itu telah diberi sanksi karena ikut campur dalam pemilihan di luar negeri, serangan siber, dan tindakan lainnya.
Sekarang, dengan pasukan Rusia mulai mengalir ke Ukraina timur setelah Moskow mengakui dua wilayah di sana sebagai wilayah independen, AS, Inggris, dan UE telah mengumumkan sanksi dan mengindikasikan akan ada lebih banyak lagi yang akan datang.
Langkah-langkah awal yang telah diambil termasuk menargetkan bank-bank Rusia, individu tingkat tinggi dan utang negara. Sementara itu Jerman juga resmi menghentikan proyek gas Nord Stream 2 yang ditegaskan langsung oleh Kanselir Jerman, Olaf Scholz, karena Rusia mengakui kemerdekaan separatis Donetsk dan Luhansk.
Berkaca dari sanksi tahun 2014, Rusia sebenarnya telah mengambil langkah-langkah untuk menahan diri terhadap pukulan ekonomi yang dapat terjadi. Negara ini telah memangkas anggarannya, meningkatkan cadangan devisa dan berusaha untuk mendiversifikasi portofolio perdagangannya agar tidak terlalu bergantung pada Uni Eropa untuk pendapatan ekspor.
Perdagangan
Sebagian besar atau lebih dari setengah pendapatan ekspor Rusia berasal dari produk mineral termasuk juga minyak, gas alam, dan batu bara. Ketergantungan ini membuat ekspor energi menjadi sasaran sanksi yang menarik.
Akan tetapi karena Uni Eropa bergantung pada Rusia untuk lebih dari sepertiga impor gas alamnya, koalisi NATO tidak mempertimbangkan sanksi terhadap ekspor minyak dan gas alam Rusia secara langsung, mengingat kekhawatiran bahwa hal itu dapat meningkatkan biaya energi yang sudah tinggi di Eropa.
Namun, sebagai tanggapan atas serangan minggu ini, Jerman mengumumkan pada hari Selasa bahwa mereka menghentikan rencana untuk membuka pipa Nord Stream 2, yang akan meningkatkan pengiriman gas Rusia ke Jerman.
Data dari CEIC menunjukkan bahwa Jerman, Turki dan Italia merupakan negara tujuan ekspor utama gas Rusia dengan masing-masing berkontribusi 31%, 13% dan 6%.
Sementara UE tetap menjadi mitra dagang terbesar Rusia, Rusia telah melakukan upaya untuk mendiversifikasi, memperluas hubungan dengan China. Upaya tersebut antara lain pembukaan pipa gas utama ke negara tersebut pada 2019.
Ekspor gas alam ke China telah tumbuh sejak saat itu tetapi masih kecil, dibandingkan dengan pembeli gas besar Rusia lainnya. Hingga September tahun lalu China berkontribusi atas 5% ekspor gas Rusia.
Tingkat Utang
Moskow telah bekerja untuk meningkatkan keuangannya, yang dapat membantu melindungi ekonomi dan menjaga pendanaan pemerintah jika terjadi sanksi.
Negara ini telah menjalankan kebijakan fiskal konservatif dan telah memangkas utangnya menjadi sangat ramping relatif terhadap negara-negara lain seperti AS dan sekutu Eropa.
Bahkan rasio utang terhadap GDP Rusia jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Rasio utang Rusia tahun 2019 sebelum pandemi kurang dari 14% GDP, sedangkan AS mencapai 108%, Inggris 85% dan zona euro 83%.
Cadangan Devisa dan Emas
Rusia telah menggunakan pendapatan minyak dan gas untuk membangun stok emas dan mata uang asingnya sejak krisis Ukraina 2014. Moskow dapat menggunakan ini untuk membantu mendukung rubel, jika sanksi berpotensi menyebabkan mata uang runtuh atau untuk membantu menutupi pengeluaran pemerintah.
Data CEIC mencatat cadangan devisa Rusia akhir Desember 2014 adalah sebesar US$ 339,37 miliar, angka tersebut kini naik menjadi US$ 497,95 miliar pada Januari 2022 lalu. Sedangkan cadangan emas Rusia meningkat tiga kali lipat dari US$ 46 miliar pada akhir 2014 menjadi US$ 132 miliar di awal tahun 2022.
Pada tahun-tahun sejak AS dan negara-negara lain memberlakukan sanksi terhadap Rusia atas pencaplokan Krimea pada tahun 2014, Moskow memiliki waktu untuk memperbaiki ekonominya agar lebih tahan terhadap hukuman yang memiliki konsekuensi besar dan luas, sehingga efektivitas akhir sanksi tidak dapat dipastikan secara sederhana.
Di luar Rusia, dampak dari konflik Ukraina dan sanksi yang dihasilkan dapat membahayakan ekonomi global yang lebih besar, yang sudah berjuang dengan inflasi dan gangguan rantai pasokan.
Harga minyak melonjak pada hari Selasa, seperti halnya ekspor besar Rusia dan Ukraina lainnya seperti gas alam, gandum dan aluminium.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/vap)