Putin Kirim Pasukan ke Ukraina, Rupiah "Nyerah"!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 February 2022 15:29
Ilustrasi Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah "nyerah" melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (22/2). Eskalasi tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang turut menyeret Amerika Serikat dan Negara Barat membuat dolar AS sebagai aset safe haven lebih diuntungkan.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.340/US$. Setelahnya rupiah sempat menguat 0,1% ke Rp 14.310/US$ sebelum berbalik melemah ke Rp 14.370/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.361/SG$, rupiah melemah 0,25% di pasar spot.

Tidak hanya rupiah, nyaris semua mata uang utama Asia melemah pada hari ini. Hingga pukul 15:13 WIB, hanya won Korea Selatan yang menguat, itu pun tipis 0,02% saja.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Aliran modal asing yang deras masuk ke dalam negeri membuat kinerja rupiah cukup terjaga.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.

Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.

Hal yang sama juga terjadi di pasar saham. Data menunjukkan sepanjang tahun ini investor asing melakukan beli bersih (net buy) sekitar Rp 20 triliun, dengan setengahnya terjadi dalam dua pekan terakhir. Dalam dua hari perdagangan pekan ini, net buy juga tercatat lebih dari Rp 1,4 triliun.

Derasnya aliran modal tersebut mendongkrak kinerja rupiah, tetapi sayangnya eskalasi tensi geopolitik membuatnya berbalik arah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Potensi Perang Bikin Rupiah Tertekan

Perkembangan tensi geopolitik antara Rusia dengan Ukraina yang juga melibatkan AS dan NATO menjadi pemicu utama pelemahan rupiah.

Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Senin malam waktu setempat mengumumkan mengakui kemerdekaan dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina, yakni Donestk dan Luhansk.

"Saya menganggap perlu untuk membuat keputusan yang seharusnya sudah dibuat sejak lama untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donestsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin sebagaimana diwartakan CNBC International.

Putin juga mengerahkan pasukannya ke wilayah tersebut untuk "menjaga perdamaian".

Sementara itu Amerika Serikat (AS) langsung menanggapi langkah Putin tersebut. Jen Paski salah satu perjabat di Gedung Putih mengatakan Presiden AS, Joe Biden, akan menandatangani perintah eksekutif yang melarang investasi, perdagangan dan pembiayaan oleh warga AS atau sebaliknya dari wilayah Donetsk dan Luhansk.

Sanksi yang diberikan tersebut tentunya bisa memanaskan hubungan AS dengan Rusia, belum lagi negara-negara Eropa yang kemungkinan akan mengambil langkah serupa.

Hal ini bisa membuat tensi geopolitik masih tereskalasi yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan rupiah tertekan.

Selain itu, perkembangan isu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat juga menjadi perhatian utama. Dalam beberapa hari terakhir, beberapa pejabat elit The Fed (bank sentral AS) terus memberikan pernyataan.

Para pejabat The Fed sepertinya terbelah, beberapa menyatakan mendorong dan membuka peluang kenaikan sebesar 50 basis poin, sementara yang lainnya tidak melihat kemungkinan tersebut dan hanya akan menaikkan 25 basis poin.

Sebelumnya Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard, menjadi yang paling kencang menyatakan akan memilih untuk menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan.

Kini ada Dewan Gubernur The Fed, Michelle Bowman yang menyatakan membuka ruang kenaikan 50 basis poin. Bowman mengatakan akan melihat data-data ekonomi yang dirilis sebelum rapat kebijakan moneter untuk memutuskan apakah perlu kenaikan sebesar 50 basis poin.

Sementara itu Beberapa pejabat elit The Fed lainnya memandang tidak perlu kenaikan suku bunga yang besar.

"Saya tidak melihat argumen yang meyakinkan untuk mengambil langkah besar di awal," kata Presiden The Fed wilayah New York, John Williams, sebagaimana diwartakan Reuters, Jumat (18/2).

"Saya pikir kami bisa menaikkan suku bunga bertahap sambil melakukan penilaian," tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan Lael Brainard, Gubernur The Fed yang dinominasikan menjadi wakil ketua oleh Biden. Dalam konferensi di New York, Brainard mengatakan perkembangan pasar finansial saat ini "konsisten" dengan langkah yang akan diambil The Fed.

Brainard melihat akan ada "beberapa kenaikan suku bunga lagi" setelah bulan Maret, dan nilai neraca akan mulai dikurangi.

Meski pendapat The Fed terbelah, pasar kini melihat kenaikan 25 basis poin yang paling mungkin terjadi. Ekspektasi tersebut berubah dari sebelumnya 50 basis poin. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group pagi ini, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 83,8% suku bunga akan dinaikkan sebesar 25 basis poin, pada pekan lalu probabilitasnya bahkan mencapai 100%.

Padahal hanya tujuh hari sebelumnya, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin dengan probabilitas lebih dari 90%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular