
Berkat Surplus Transaksi Berjalan, Rupiah Menguat Pekan Ini

Isu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) masih menjadi perhatian. Presiden The Fed St. Louis, James Bullard kemarin sekali lagi menegaskan perlu tindakan yang cepat agar mampu mengendalikan inflasi.
"Risiko (inflasi) yang kita hadapi saat ini lebih besar dari generasi sebelumnya dan ini bisa tak terkendali. Satu skenario yang mungkin terjadi... satu kejutan yang akan tidak kita antisipasi saat ini, kemungkinan inflasi lebih tinggi. Situasi seperti itu yang kami ingin pastikan tidak terjadi," kata Bullard saat berbicara di Columbia University, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Bullard sebelumnya menegaskan akan mendukung kenaikan suku bunga hingga 1% d di bulan Juli, artinya suku bunga perlu dinaikkan 50 basis poin di bulan Maret, dan masing-masing 25 basis poin di Mei dan Juni, sesuai jadwal pertemuan The Fed.
Meski demikian pasar melihat berbeda. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 100% The Fed akan menaikakn suku bunga 25 basis poin pada bulan depan. Probabilitas kenaikan sebesar 50 basis poin yang pada pekan lalu sekitar 90% kini menjadi nol.
Namun, tekanan bagi rupiah masih akan cukup besar pada sentimen pelaku pasar kembali memburuk akibat tensi geopolitik di Eropa Timur kembali memanas karena Rusia mengusir Wakil Duta Besar AS Bartle Gorman.
Selain itu, Washington juga masih meyakini bahwa Moskow akan segera menyerang Ukraina dalam beberapa hari ke depan. Sekarang negara yang dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin itu tinggal mencari alasan yang tepat untuk itu.
Sebaliknya, Kremlin menilai AS malah menjadi pihak yang memanaskan situasi dan memperuncing konflik. AS juga tidak menghiraukan kepentingan keamanan Rusia (yang tidak sudi Ukraina bergabung ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd)[Gambas:Video CNBC]