Top! Rupiah Cetak Hat-trick dan Jadi Runner Up di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 February 2022 15:17
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (10/2). Dengan demikian, rupiah sukses mencatat hat-trick alias penguatan 3 hari beruntun. Pergerakan rupiah dipengaruhi oleh pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan pelaku pasar yang menanti rilis data inflasi AS.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.345/US$. Sempat hingga 0,21%, rupiah akhirnya mengakhiri perdagangan di Rp 14.340/US$. 

Meski penguatannya tidak terlalu besar, tetapi rupiah menjadi runner up Asia pada hari ini. Hingga pukul 15:07 WIB, rupiah hanya mkalah dari bath Thailand yang menguat 0,18%, sementara mayoritas mata uang utama Asia lainnya melemah. 

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia. 

Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari 2022. Seperti ekspektasi, MH Thamrin tidak mengubah suku bunga acuan.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 9-10 Februari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (10/1/2022).

Dengan demikian, suku bunga acuan telah bertahan di 3,5% sejak Februari 2021 atau genap setahun. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.

Perry juga menyatakan perkasanya rupiah disebabkan oleh deras aliran modal asing yang masuk ke tanah air. Di sisi lain persepsi positif selalu terjaga seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam penanganan kasus Covid-19 dan berlanjutnya pemulihan ekonomi serta langkah stabilisasi oleh BI.

"Ke depan nilai tukar diperkirakan akan tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang berlanjut," terangnya.

Aliran modal asing memang sedang deras.

Sepanjang bulan Januari lalu, terjadi capital outflow yang cukup besar di pasar obligasi Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menunjukkan kepemilikan asing di SBN pada 31 Januari sebesar Rp 887,28 triliun, turun dibandingkan 31 Desember 2021 sebesar Rp 891,34 triliun. Artinya, terjadi capital outflow sekitar Rp 4 triliun.

Tetapi situasi tersebut berubah, pada 7 Februari lalu kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 895,74 triliun, artinya terjadi inflow sebesar Rp 8,46 triliun hanya dalam 7 hari saja di bulan ini.

Dengan demikian, secara year-to-date (ytd) hingga 7 Februari lalu, tercatat capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 4,4 triliun.

Di pasar saham juga terjadi hal yang sama. Hari ini investor asing tercatat melakukan beli bersih (net buy) sebesar  Rp 1,56 triliun di pasar reguler. Kemudian selama sepekan terakhir net buy tercatat lebih dari Rp 7,1 triliun.

Pergerakan rupiah pada hari ini juga akan dipengaruhi oleh pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Bisa Membuat Dolar AS "Kiamat"

Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya. Semakin tinggi inflasi, The Fed kemungkinan akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini inflasi di AS berada di level tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed akan agresif dalam menaikkan suku bunga.

Seperti diketahui, bank sentral paling powerful di dunia ini akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan kemungkinan akan 4 kali melakukan di tahun ini.

Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Januari yang akan dirilis Kamis nanti akan kembali naik menjadi 7,3% year-on-year (yoy) dari bulan sebelumnya 7%, tetapi tidak menutup kemungkinan realisasinya lebih rendah.

Pasar saat ini dikatakan akan bereaksi lebih besar saat inflasi lebih rendah ketimbang terus meninggi.

"Pasar kemungkinan akan bereaksi lebih besar ketika inflasi secara mengejutkan lebih rendah ketimbang yang terus meninggi" kata Alvise Marino, direktur strategi valuta asing di Credit Suisse, sebagaimana diwartakan CNBC International, Rabu (9/2).

"Ekspektasi saat ini adalah inflasi tinggi yang lebih persisten. Sesuatu yang menunjukkan arah sebaliknya akan menghasilkan perubahan besar," tambahnya.

Artinya, jika inflasi dirilis lebih tinggi dari prediksi, maka pasar akan bereaksi yang membuat dolar AS menguat. Tetapi penguatannya tidak akan tajam, sebab inflasi yang tinggi sudah diprediksi dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Namun, jika yang terjadi sebaliknya, rilis inflasi justru rendah dari 7%, hal tersebut akan menjadi kejutan besar, dan dolar AS berisiko "kiamat".

Dengan agresivitas The Fed, tidak hanya dalam menaikkan suku bunga tetapi juga akan mengurangi nilai neracanya, dolar AS memang menguat di tahun ini. Tetapi penguatannya masih biasa saja, bahkan malah merosot dalam dua pekan terakhir.

Pelaku pasar saat ini sudah price in dengan agresivitas The Fed, bahkan dengan kemungkinan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin di bulan Maret.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap mata uang.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir The Fed Januari lalu, pasar sudah menakar suku bunga akan dinaikkan hingga 125 basis poin di tahun ini. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Namun, hal tersebut dikatakan belum akan cukup untuk membuat dolar AS menguat tajam.

Dari 24 analis yang memberikan jawaban, median hasilnya sebesar 62,5 basis poin. Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sebesar itu tentunya sangat kecil, kenaikan 125 basis poin lebih realistis, dan itu sudah di-price in oleh pasar. Tetapi jika kenaikan kurang dari 125 basis poin, tentunya bukan membuat dolar AS menanjak, malah berisiko merosot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular