Larangan Ekspor Batu Bara di Januari Bikin Cadev RI Jeblok?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 February 2022 16:00
batu bara
Foto: REUTERS/Stringer

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (Cadev) Indonesia turun cukup tajam di awal tahun ini. Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.

Dengan demikian, cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan dua bulan beruntun dan berada di level terendah dalam 6 bulan terakhir.

Surplus neraca perdagangan menjadi salah satu penambah devisa. Sebelum menurun dua bulan beruntun, cadangan devisa Indonesia terus mengalami kenaikan hingga mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar yang dicapai pada September 2021 lalu.

Hal tersebut sejalan neraca perdagangan yang terus surplus, hingga Desember 2021 tercatat dalam 20 bulan beruntun.

Salah satu pemicu surplus tersebut yakni harga komoditas ekspor andalan Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara, yang sedang tinggi-tingginya.

Batu bara yang termasuk bahan bakar mineral berkontribusi sebesar 14,98% dari total ekspor di 2021 dengan nilai US$ 32,84 miliar, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Kontribusi tersebut menjadi yang terbesar, hanya sedikit di atas ekspor CPO yang masuk dalam lemak dan minyak hewan/nabati sebesar 14,97% dengan nilai US$ 32,83 miliar.

Sayangnya, pada bulan Januari lalu pemerintah melarang ekspor batu bara.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menghentikan sementara ekspor batu bara selama sebulan.

Langkah ini dilakukan untuk memastikan pasokan batu bara ke pembangkit listrik, yang pasokannya semakin menipis.

"Soal pasokan batu bara, saya perintahkan kepada Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan PLN segera cari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan dalam negeri, untuk PLN, dan industri di dalam negeri. Sudah ada mekanisme DMO (Domestic Market Obligation, kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik) yang mewajibkan perusahaan tambang untuk memenuhi pembangkit PLN. Ini mutlak, jangan sama sekali dilanggar untuk alasan apapun," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal Januari lalu.

Larangan tersebut dikatakan berdampak pada penurunan nilai ekspor, yang diperkirakan hingga US$ 1,5 miliar.

"Ini (pelarangan ekspor) mendorong penurunan ekspor batubara sebesar US$ 1-1,5 miliar dari kondisi normal yang berkisar US$ 3-4 miliar. Dengan penurunan kinerja ekspor tersebut maka akan mendorong penurunan devisa hasil ekspor. Meskipun demikian, kinerja ekspor dan devisa hasil ekspor bulan Februari diperkirakan akan cenderung kembali meningkat mengingat pemerintah sudah mulai merelaksasi pelarangan ekspor batubara tersebut," ungkap Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/2/2022)

Turunnya nilai ekspor tersebut tentunya memberikan dampak pada turunnya cadangan devisa di bulan Januari. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Faktor Utama Penyebab Jebloknya Cadangan Devisa RI

BI melaporkan penurunan cadangan devisa terjadi akibat pembayaran utang pemerintah, serta berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral.

"Penurunan posisi cadangan devisa pada Januari 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia antara lain sebagai antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan membaiknya aktivitas perekonomian," sebut keterangan tertulis BI.
Seperti disebutkan BI, aktivitas perekonomian memang terus menunjukkan perbaikan. Saat roda perekonomian berputar lebih cepat, impor tentunya meningkat dan kebutuhan valuta asing (valas) juga bertambah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Senin kemarin, di kuartal IV-2021 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh 5,02% year-on-year (yoy), dengan pertumbuhan impor tercatat melesat hingga 29,6% (yoy).

Sebelum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Bandung Raya, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali dinaikkan menjadi level 3 di pekan ini, tanda-tanda pertumbuhan ekonomi yang membaik sudah terlihat dari aktivitas manufaktur.

Sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. Di kuartal IV-2021, kontribusinya sebesar 18,8%.

IHS Markit di awal bulan ini melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur di bulan Januari sebesar 53,7, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 53,5.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 berarti kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.

Artinya, sektor manufaktur meningkatkan ekspansinya di awal tahun ini, yang tentunya menjadi kabar bagus. Peningkatan ekspansi artinya juga peningkatan impor bahan baku/penolong, yang tentunya akan meningkatkan kebutuhan valas.

Selain faktor yang disebutkan sebelumnya, ada kemungkinan penurunan cadangan devisa juga terjadi akibat intervensi yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Sepanjang bulan Januari lalu, rupiah tercatat melemah 0,91% ke Rp 14.380/US$. Dengan pelemahan tersebut bisa dikatakan rupiah masih cukup stabil, sebab The Fed saat itu menegaskan akan bertindak agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini, bahkan juga akan mengurangi nilai neracanya.

Keperluan intervensi tersebut diperkirakan akan menggerus cadangan devisa lagi beberapa bulan ke depan.

"Dalam 1-2 bulan ke depan diperkirakan cadangan devisa akan mengalami penurunan, terutama disebabkan oleh tekanan Dollar AS akibat tapering dari Fed serta tekanan permintaan impor yang berpotensi terus mengalami peningkatan," kata Josua.

Namun, setelah The Fed menaikkan suku bunga, cadangan devisa diperkirakan akan kembali naik.

"Pasca kenaikan suku bunga Fed, diperkirakan tekanan asing akan cenderung lebih terbatas, sehingga cadangan devisa diperkirakan kembali meningkat hingga akhir tahun 2022," tegas Josua.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular