
Fundamental Sehat dan Kuat, Prospek BBTN Dinilai Menggiurkan

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) berhasil meraih laba bersih Rp 2,38 triliun pada 2021, meningkat 48,3% dibandingkan torehan 2020 di angka Rp 1,6 triliun. Dari perolehan itu, laba per saham perseroan sebesar Rp 224, melonjak dari posisi sebelumnya Rp151.
Kinerja meyakinkan BTN didorong oleh peningkatan kredit yang menembus Rp 274,83 triliun pada 2021, tumbuh 5,66% dibandingkan dengan 2020. Adapun dana pihak ketiga tumbuh 6,03% menjadi Rp 295,98 triliun.
Sejumlah analis menilai kinerja BBTN pada 2021 mencerminkan fundamental yang sehat dan kuat. Faktor pertama adalah BTN berhasil meningkatkan net interest margin (NIM) yang berdampak langsung terhadap profitabilitas. Emiten perbankan yang fokus pada sektor properti ini berhasil meningkatkan NIM dari 3,06% pada 2020 menjadi 3,99% pada 2021.
Di sisi lain efisiensi BTN terus meningkat yang tercermin pada Cost to Income Ratio (CIR) dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). CIR membaik dari 53,85% menjadi 48,18%, sedangkan BOPO juga turun dari 91,6% menjadi 89%.
"Terlebih suku bunga saat ini masih tergolong rendah. Bank bukan hanya menikmati biaya dana (cost of fund) yang rendah, juga kesempatan untuk meningkatkan penyaluran kredit. Pemulihan ekonomi akan mengerek permintaan kredit," kata Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang, Selasa (9/2/2022).
Faktor selanjutnya adalah BBTN juga berhasil menekan risiko dengan menurunkan rasio kredit bermasalah (net performing loan/NPL) gross dari 4,37% menjadi 3,7% pada 2021. Sementara NPL net cukup rendah di level 1,34% dibandingkan 2020 di level 2,06%.
Faktor lainnya yang positif bagi BBTN adalah rasio intermediasi (loan to deposits ratio/LDR) BBTN semakin membaik menjadi 92,86%. Likuiditas yang lebih longgar menjadi cerminan BTN siap menopang pertumbuhan kredit pada masa mendatang.
Rasio likuiditas selama ini selalu menjadi momok buat bank dengan portofolio kredit jangka panjang ini. Untuk sekian waktu, LDR selalu berada di atas 100%. Tapi, dalam tiga tahun terakhir, persoalan ini dapat teratasi. Angka LDR turun dari 113,5% pada 2019 menjadi 93,19% pada 2020 dan kini turun lagi ke level 92,86%. Bahkan, ini menjadi posisi LDR terendah dalam lima tahun terakhir.
Sementara itu, Loan Coverage Ratio (LCR) berada di angka 283,16% terus meningkat dari periode sebelumnya yakni 256,32% (2020), 136,31% (2019) dan 108,99% (2018).
"Peningkatan LCR menunjukkan semakin baiknya kondisi ketahanan likuiditas BTN dan jauh berada di atas ketentuan regulator yang sebesar 100%," kata Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo.
LCR merupakan perhitungan risiko likuiditas baru yang berasal dari kerangka Basel III. Rasio ini dimaksudkan untuk mendorong ketahanan jangka pendek berdasarkan profil risiko likuiditas dengan memastikan bahwa bank memiliki kecukupan high quality liquid asset untuk dapat bertahan dalam skenario kondisi krisis yang signifikan dalam periode 30 hari kalender.
Kinerja Saham
Dari sisi harga, Edwin menyarankan investor untuk mencermati harga saham BBTN yang tergolong sangat murah bila dibandingkan dengan bank besar lain yang juga mencatatkan kinerja yang sama-sama cemerlang pada 2021. Dasarnya adalah rasio price to book value (PBV) BBTN masih di bawah 1 kali, tepatnya 0,8 kali.
Sementara PBV Bank Central Asia (BBCA) tercatat 4,7 kali, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) sekitar 2,21 kali, Bank Mandiri (BMRI) 1,78 kali, dan Bank Negara Indonesia (BBNI) di 1,1 kali. Semakin rendah PBV di antara emiten sejenis di sektor yang sama maka mencerminkan saham tersebut lebih murah, begitu pula sebaliknya.
"Bayangkan kalau PBV BBTN bisa naik 2X, harganya sudah di kisaran Rp 3.800. Dari hitungan PBV dan potensi bisnis BTN ke depan, saya rekomendasi buy dengan target Rp 3.800 untuk tahun ini," kata Edwin.
Faktor lainnya adalah price to earning ratio (PER) BBTN juga masih tergolong murah, yakni 8,94% atau masih single digit. PER BBTN kembali yang terendah dibandingkan dengan BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI.
PER BBCA saat ini berada di kisaran 30%, sementara BBRI 20,54%, BMRI 13,61%, dan BBNI di 12,53%. Semakin rendah PER di emiten sejenis di sektor yang sama, maka mencerminkan saham tersebut lebih murah, begitu pula sebaliknya.
Setali tiga uang, Analis Fundamental Kanaka Hita Solvera, Raditya Krisna Pradana juga merekomendasikan buy saham BBTN dengan target terdekat Rp 1.840. Menurutnya, harga saham BBTN saat ini masih cenderung murah bila dengan valuasi wajarnya.
"Secara fundamental, saham BBTN undervalue. Valuasi dari DCF di level Rp 2.220 kami jadikan sebagai target penguatan moderate dari saham BBTN, sedangkan valuasi dari PBV di level Rp 2.642 kami jadikan sebagai target penguatan optimis dari saham BBTN. Secara teknikal, BBTN sejak bulan Oktober 2021 hingga saat ini mengalami sideways pada range harga 1665-1840. Stop loss dilakukan apabila closing harian BBTN berada di bawah level 1665," jelas Raditya.
Kinerja saham Bank yang fokus mendukung program perumahan pemerintah itu, dinilainya, memiliki beberapa sentimen positif tahun ini, seperti perpanjangan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sektor properti. Insentif ini otomatis akan meningkatkan permintaan properti. Selain itu, pemulihan pertumbuhan ekonomi yang positif diyakini juga menjadi faktor penggerak sektor properti tahun ini.
Sedangkan faktor positif lainnya adalah rencana penawaran umum terbatas atau rights issue BBTN senilai Rp 3,3 triliun. Dalam aksi korporasi ini, pemerintah akan mengeksekusi penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 2 triliun.
Menurut Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, agenda right issue sangat positif buat BTN untuk bisa lebih ekspansi tahun ini. Namun tentunya ada hal lain yang perlu diperhatikan, salah satunya terkait harga pelaksanaan. "Semakin murah harga pelaksanaan right issue, tentu akan semakin menarik buat investor untuk berinvestasi di saham BTN," katanya.
Secara sektoral, Nico Demus optimistis saham bank akan tetap menjadi primadona, melanjutkan kesuksesan kinerja di 2021. Faktor utamanya adalah gencarnya vaksinasi dan pemulihan ekonomi. Berbagai kebijakan pemerintah sejauh ini terbukti sukses dalam menjaga daya beli dan memacu sektor riil. Ekonomi yang bertumbuh adalah sinyal positif bagi saham bank.
"Kami sendiri cukup senang kondisi ekonomi di 2021 yang masih tercatat tumbuh, seiring meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan target pertumbuhan ekonomi di 2022 sebesar 5% dan inflasi yang terjaga, tentunya saham perbankan masih menjadi primadona di 2022," tutur Nico Demus.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fokus DIgitalisasi, BTN Bakal Luncurkan Aplikasi Canggih