
Dolar AS Ngamuk, Rupiah Loyo-loyonya

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan ini kembali mencatatkan koreksi, di tengah masih perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah terkoreksi 0,35% secara point-to-point. Pada perdagangan Jumat (29/1/2022), rupiah ditutup cenderung stagnan di level Rp 14.385/US$.
Bahkan pada pekan ini, pelemahan rupiah cenderung membesar, di mana pada pekan lalu rupiah melemah 0,28% dihadapan sang greenback.
Bank sentral AS atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) mengindikasikan akan menaikkan suku bunga acuannya di bulan Maret, dan akan lebih agresif lagi di tahun ini. Hal tersebut memberikan tekanan yang besar bagi rupiah.
Meski demikian, pelemahan rupiah tersebut terbilang masih normal, tidak ada gejolak yang berlebihan meski The Fed akan sangat agresif menormalisasi kebijakannya di tahun ini. Ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah.
Di lain sisi, dolar AS yang semakin perkasa membuat rupiah kembali tertekuk pada pekan ini. Indeks dolar AS (DXY) pada perdagangan Kamis melesat 1,33% ke 97,255 yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020. Bahkan pada perdagangan Jumat kemarin, indeks dolar AS kembali menguat menjadi 97,270.
Kenaikan tersebut menyusul rilis pertumbuhan ekonomi AS yang melesat tumbuhan ekonomi AS kuartal IV-2021 yang melesat. Produk Domestik Bruto (PDB) yang menjadi indikator perekonomian negara AS tercatat tumbuh 6,9% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ) pada kuartal IV-2021.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang hanya tumbuh 2,3% QoQ dan jauh lebih tinggi dari perkiraan konsensus di 5,5% QoQ.
Pertumbuhan ekonomi AS tersebut didasarkan pada pembacaan awal PDB dan masih mungkin direvisi baik ke atas maupun ke bawah.
Hal ini tersebut menguatkan ekspektasi The Fed akan sangat agresif di tahun ini dan berisiko membuat rupiah jeblok.
"Dengan inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja yang kuat, Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan akan tetap untuk segera menaikkan rentang target suku bunga (Federal Funds Rate/FFR)," tulis pernyataan The Fed.
Sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, The Fed membabat suku bunganya hingga menjadi 0% - 0,25%. Dengan pengumuman kali ini, pasar semakin yakin FFR akan dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% di bulan Maret.
Tidak hanya itu, The Fed juga diperkirakan bisa menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali di tahun ini melihat pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang menyebut inflasi masih berisiko meninggi.
"Risiko inflasi masih naik dalam pandangan FOMC begitu juga dengan pandangan pribadi saya. Ada risiko cukup besar inflasi yang kita alami saat ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Ada juga risiko inflasi akan semakin tinggi. Kami harus berada pada posisi di mana kebijakan moneter bisa mengatasi semua kemungkinan yang ada," kata Powell dalam konferensi pers usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International.
Bank investasi ternama, Goldman Sachs sudah memprediksi Jerome Powell akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat.