Awas RI Terguncang! Fed Bisa Kerek Suku Bunga Hingga 7 Kali

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 January 2022 13:50
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini yang akan menjadi perhatian utama. Maklum saja, kebijakan moneter The Fed bisa memberikan dampak yang signifikan tidak hanya ke pasar finansial tetapi juga perekonomian global, tidak terkecuali Indonesia.

The Fed di pekan ini memang diprediksi belum akan merubah kebijakannya, tetapi bisa memberikan kejelasan seberapa agresif akan mengetatkan kebijakan moneternya di tahun ini.

Dalam notula rapat kebijakan moneter edisi Desember yang dirilis awal bulan ini terungkap tidak hanya akan mengerek suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, The Fed juga kemungkinan akan mengurangi nilai neracanya (balance sheet).

Bank investasi ternama, Goldman Sachs bahkan memprediksi Jerome Powell dan kolega bisa bertindak lebih agresif lagi.

Analis dari Goldman Sachs melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS saat ini berada di level 7% year-on-year (YoY) pada bulan Desember. Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juni 1982.

"Prediksi dasar kami The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di bulan Maret, Juni, September dan Desember. Tetapi Kami melihat risiko The Fed ingin menaikkan suku bunga di setiap pertemuan sampai proyeksi inflasi berubah," kata David Mericle, ekonom di Goldman Sachs kepana nasabahnya yang dikutip CNBC International, Minggu (23/1).

Melihat jumlah pertemuan The Fed sebanyak 8 kali di tahun ini, dan seandainya suku bunga mulai dinaikkan bulan Maret, artinya ada kemungkinan suku bunga bisa dinaikkan sebanyak 7 kali, jika melihat risiko yang dipaparkan Goldman Sachs.

Agresivitas The Fed juga diperkirakan akan terjadi dalam pengurangan nilai neracanya. Goldman memprediksi The Fed akan mengurangi necaranya yang saat ini nyaris mencapai US$ 9 triliun sebesar US$ 100 miliar per bulan.

the fed

Pengurangan tersebut diperkirakan akan dimulai pada bulan Juli dan akan berlangsung selama dua hingga dua setengah tahun, yang membuat neraca The Fed nantinya senilai US$ 6.1 triliun hingga 6.6 triliun.

Pengurangan nilai neraca artinya The Fed akan melepas kepemilikan obligasinya (Treasury), sehingga likuiditas akan terserap.

Dengan tingkat agresivitas seperti itu, risiko terjadinya capital outflow dari pasar obligasi Indonesia tentunya semakin besar, yang bisa berdampak pada terguncangnya perekonomian. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Ngerinya Normalisasi Kebijakan The Fed Bagi Indonesia

Langkah The Fed kali ini jauh lebih agresif ketimbang normalisasi yang dilakukan pasca krisis finansial global 2008. Pada pertengahan 2013, The Fed mulai mewacanakan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Tapering pada akhirnya dimulai awal 2014 dan selesai di bulan Oktober 2014. Setelahnya suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun, begitu juga dengan pengurangan nilai neraca yang mulai dilakukan pada 2018.

Kali ini, The Fed sangat amat lebih agresif, tapering akan selesai pada bulan Maret dan suku bunga kemungkinan dinaikkan saat itu juga. Sementara neraca kemungkinan mulai dikurangi bulan Juli, sebagaimana prediksi Goldman Sachs.

Di tahun 2013, The Fed mengumumkan tapering pada bulan Juni, dan berdampak pada pelemahan rupiah hingga tahun 2015 akibat terjadinya capital outflow dari pasar obligasi yang masif.

idrFoto: Refinitiv
idr

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

pdb

Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

Dampak normalisasi kebijakan moneter The Fed beberapa tahun lalu tersebut bisa menjadi gambaran risiko yang akan dihadapi Indonesia saat Jerome Powell dan kolega mulai mengerek suku bunga di tahun ini. Seberapa agresif kenaikan akan dilakukan kemungkinan bisa diketahui lebih jelas pada pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari nanti.

Rencana The Fed menormalisasi kebijakan moneternya juga mendapat perhatian dari Dana Moneter International (IMF). 

Direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve System (The Fed) dapat "menyiram air dingin" pada pemulihan ekonomi di negara-negara tertentu. Kenaikan suku bunga AS dapat memiliki implikasi signifikan bagi negara-negara dengan tingkat utang dalam mata uang dolar yang lebih tinggi.

Dia mengatakan sangat penting untuk The Fed mengkomunikasikan rencana kebijakannya untuk mencegah "kejutan". Suku bunga yang lebih tinggi dapat memicu penguatan dolar AS yang akan membuat negara-negara menjadi lebih mahal untuk membayar utang berdenominasi dolar AS. 

Hal ini tersebut tentunya juga berlaku di Indonesia, beban pembayaran utang bisa membengkak jika nilai tukar rupiah terpuruk di tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular