
Investor Cenderung Wait and See, Bursa Asia Dibuka Berjatuhan

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka cenderung melemah pada perdagangan Senin (24/1/2022), masih cenderung mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS) dan karena investor cenderung memasang sikap wait and see jelang pertemuan bank sentral AS.
Indeks Nikkei Jepang dibuka merosot 0,75%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,53%, Shanghai Composite China melemah 0,38%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,41%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,37%.
Dari data ekonomi di Asia, Jepang telah merilis data aktivitas manufaktur dan jasa pada periode Desember 2021 dalam Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) versi Jibun Bank (Markit).
Dari sektor manufaktur, PMI Jepang pada periode Desember tahun lalu naik sedikit menjadi 54,6, dari sebelumnya pada November 2021 di angka 54,3.
Sedangkan dari sektor jasa, PMI Negeri Matahari Terbit tersebut berkontraksi menjadi 46,6 pada Desember tahun lalu, dari sebelumnya di angka 52,5 pada November 2021.
Saat angka PMI di atas 50, artinya dunia usaha berada di fase ekspansi. Sebaliknya kalau masih di bawah 50, industriawan sedang mengalami kontraksi alias 'tiarap'.
Pasar saham Asia cenderung kembali mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang masih ditutup terkoreksi pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu. Bahkan sepanjang pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street mencatatkan koreksi tanpa adanya penguatan.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,3% ke level 34.265,37, S&P 500 ambruk 1,89% ke 4.397,84, dan Nasdaq Composite anjlok 2,72% ke posisi 13.768,92.
Pemicu koreksi dalam pasar ekuitas AS adalah masih khawatirnya pelaku pasar terkait potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), di mana bank sentral paling powerful di dunia tersebut akan menaikkan suku bunga lebih awal.
"Pasar dinilai terlalu tinggi secara signifikan, ketika suku bunga berada pada rekor terendah," kata Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics.
"Tetapi ketika suku bunga naik, valuasi menjadi masalah nyata, sehingga pasar menyesuaikan dengan realitas suku bunga yang baru," tambahnya.
Saat suku bunga naik, biaya untuk berbagai jenis pinjaman terancam akan lebih mahal. Dikhawatirkan ini akan menghambat ekspansi perusahaan setelah fase pemulihan ekonomi awal.
Pada hari ini pula, sikap investor global cenderung wait and see jelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) The Fed yang akan dimulai pada Selasa hingga Rabu waktu AS.
Dengan inflasi di AS yang terus memanas, pasar memperkirakan The Fed bakal agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Berdasarkan data CME Fedwatch, pelaku pasar mengantisipasi bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp), paling cepat pada Maret 2022 dengan probabilitas 88,7%.
The Fed diperkirakan bakal menaikkan suku bunga acuan 4-5 kali pada tahun 2022. Setelah itu The Fed juga diprediksi akan menempuh kebijakan moneter kontraktif dengan mereduksi ukuran neracanya (balance sheet).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
