
The Fed Hawkish dan Beringas, Emas Terkulai Lemas

Jakarta, CNBC Indonesia - Emas merupakan salah satu instrumen keuangan yang sangat sensitif terhadap pergerakan suku bunga dan mata uang dolar AS.
Emas merupakan aset yang tidak memberikan imbal hasil apapun. Keuntungan yang diperoleh dari emas hanya mengandalkan capital gain atau fluktuasi harganya karena tak seperti saham yang memberikan dividen atau obligasi yang membayar kupon secara periodik.
Oleh sebab itu harga emas juga sangat bergantung pada pergerakan harga aset keuangan lain. Selama ini emas dinilai sebagai aset minim risiko dan diburu ketika kondisi ekonomi sedang tidak baik seperti saat resesi.
Seperti pada krisis keuangan global tahun 2008 silam, harga emas bahkan terbang hingga menyentuh US$ 1.800/troy ons. Kemudian saat Covid-19, harga emas sempat tembus US$ 2.000/troy ons.
Namun semua itu terjadi karena suku bunga acuan berada di level terendahnya mendekati nol. The Fed dan bank sentral lain memilih untuk memangkas suku bunga acuan secara agresif agar orang mau meminjam uang lagi dan ekonomi berputar.
Konsekuensi dari rendahnya suku bunga adalah uang beredar menjadi meningkat. Banjir suplai dolar AS di pasar membuat harganya tertekan. Inflasi menjadi konsekuensinya.
Emas merupakan tandingan dolar AS. Berbeda dengan mata uang Paman Sam yang suplainya dapat ditentukan oleh bank sentralnya, pasokan emas lebih terbatas.
Oleh sebab itu emas cocok dijadikan sebagai instrument hedging karena inflasi dinilai sebagai fenomena devaluasi suatu currency. Kondisi inilah yang memicu pergerakan harga emas cenderung berlawanan arah dengan dolar AS.
Sekarang inflasi di AS sedang 'hot', hal ini tak bisa dibiarkan oleh The Fed. Bank sentral AS tersebut sudah mulai ambil ancang-ancang untuk menormalisasi kebijakan.
The Fed melakukan tapering yang bakal usai bulan Maret. Selanjutnya The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Pelaku pasar memperkirakan The Fed bisa menaikkan sampai 4x tahun ini. Setelah itu The Fed juga berencana untuk menerapkan kebijakan kontraktif pada balance sheetnya.
Semua itu merupakan kebijakan pengetatan yang cenderung agresif. Saat the Fed melakukan siklus pengetatan, dolar AS cenderung menguat karena likuiditas sudah tidak sebanyak dahulu.
Suplai dolar AS menjadi lebih terbatas. Mengingat emas dan dolar AS bergerak berlawanan arah, hal ini bisa memicu terjadinya koreksi pada harga emas.
Secara historis dalam dua dekade terakhir, ketika dolar AS melemah harga emas naik. Begitu juga sebaliknya.
Dalam 20 tahun terakhir juga pergerakan indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback terhadap mata uang lain lebih banyak digerakkan oleh siklus kebijakan moneter The Fed.
Oleh karena itu, investor harus bersiap karena dengan naiknya suku bunga emas menjadi kurang menarik karena tak memberikan imbal hasil apapun. Ada peluang investor bakal melepas emas ketika pengetatan moneter juga dibarengi dengan inflasi yang mulai menurun.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Emas Dunia Melejit 1,15% Pekan Ini, Tapi Awas Bisa Turun Lagi