3 Hari Melemah, Pak Perry Mohon Rupiah Dipandu Biar Perkasa
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatat pelemahan 3 hari bertuntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga Rabu kemarin. Kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi pemicu pelemahan rupiah.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun sebelumnya mencatat penguatan 3 hari beruntun, dan berada di level tertinggi sejak Desember 2019. Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang bisa membuat rupiah tertekan. Rabu kemarin, rupiah pun melemah 0,17% ke Rp 14.360/US$. Dalam 3 hari, total rupiah melemah 0,45%.
Kabar baiknya, yield Treasury pada perdagangan Rabu turun 2,14 basis poin ke 1,8539% yang yang memberikan peluang penguatan rupiah pada hari ini. Tetapi kenaikan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) varian Omicron baik di luar dan dalam negeri masih akan memberikan tekanan ke rupiah.
Selain itu, perhatian juga tertuju ke Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat, tidak ada yang mbalelo.
Jika sesuai ekspektasi, maka suku bunga acuan akan bertahan di 3,5% sejak Februari 2021 atau hampir setahun. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.
Meski demikian, BI diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada pertengahan tahun ini.
"Saya memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate baru naik paling cepat Juni," ujar Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas.
"Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan baru terjadi pada semester II, sebanyak 50 basis poin (bps). Namun kenaikan ini akan tergantung dari perkembangan inflasi domestik," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi.
Jika Gubernur BI, Perry Warjiyo, memberikan panduan atau sinyal suku bunga akan dinaikkan di pertengahan tahun ini, maka rupiah berpeluang bangkit pada perdagangan hari ini, Kamis (19/1). Meski demikian, respon penuh baru akan terasa besok, sebab BI mengumumkan kebijakan moneternya beberapa saat sebelum perdagangan di dalam negeri ditutup.
Secara teknikal, rupiah kini sudah berada di atas rerata pergerakan 200 hari (Moving Average 200/ MA 200). Artinya, Mata Uang Garuda kini berada di atas tiga MA, selain MA 200 juga di atas MA 100 dan MA 50. Sehingga tekanan bagi rupiah menjadi lebih besar.
Selain itu, indikator Stochastic bergerak naik tetapi belum memasuki wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Ketika Stochastic yang belum mencapai overbought, artinya risiko pelemahan rupiah masih besar.
Resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.390/US$ hingga Rp 14.400/US$, jika dilewati rupiah berisiko melemah ke Rp 14.430/US$.
Sementara itu MA 200 di kisaran Rp 14.320/US$ hingga Rp 14.330/US$ menjadi support terdekat yang harus dilewati rupiah untuk bisa menguat lebih lanjut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap)