Pekan Lalu Terpuruk, Hari Ini Rupiah Ngamuk!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 10/01/2022 15:23 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (10/1), setelah merosot 0,74% sepanjang pekan lalu. Jebloknya indeks dolar AS menjadi pemicu penguatan rupiah hari ini.

Melansir data Refinitiv, begitu bel perdagangan berbunyi rupiah langsung melesat 0,45% ke Rp 14.290/US$. Namun, level tersebut menjadi yang terkuat pada hari ini, rupiah kemudian memangkas pelemahan hingga tersisa 0,14%.

Rupiah perlahan kembali menguat, hingga mengakhiri perdagangan di Rp 14.305/US$, menguat 0,35% di pasar spot.


Rupiah sebesarnya masih cukup kuat secara fundamental, tetapi pada pekan lalu dolar AS memang sedang perkasa pasca rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS) yang menunjukkan normalisasi kebijakan bisa dilakukan lebih cepat lagi ketimbang ekspektasi pasar.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) pada hari ini merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) peridoe Desember 2021 sebesar 118,3, mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya 118,5.

IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Di atas 100, artinya konsumen percaya diri atau optimistis memandang kondisi ekonomi saat ini hingga beberapa bulan mendatang. Sebaliknya, di bawah 100 berarti konsumen pesimistis.

IKK di bulan Desember, meski mengalami penurunan tetapi masih menunjukkan optimisme yang tinggi, sebab hanya turun tipis dari bulan sebelumnya yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2020 atau sebelum virus corona menyerang dunia.

Sementara itu, indeks dolar AS jeblok hingga 0,62% ke 95,718 pada Jumat lalu, yang membuat rupiah pagi ini mampu menguat tajam.

Penyebab jebloknya indeks dolar AS adalah data tenaga kerja AS yang bervariasi. Perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) dilaporkan sebanyak 199.000 orang di bulan Agustus, turun dari bulan sebelumnya 249.000 orang, juga jauh di bawah prediksi pasar yang memperkirakan lebih dari 400.000 orang.

Sementara itu tingkat pengangguran dilaporkan turun menjadi 5,9% dari sebelumnya 6%, dan rata-rata upah per jam juga naik 0,6% lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,4%.
Meski demikian, pasar lebih melihat data NFP ketimbang dua lainnya, sebab mencerminkan kemampuan perekonomian AS menciptakan dan menyerap tenaga kerja.

Namun, di sisi lain, yield obligasi (Treasury) AS yang sedang tinggi membuat penguatan rupiah bisa terbatasi. Yield Treasury tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu melesat 25,3 basis poin ke 1,7655% yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2020, atau sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Kenaikan tersebut dipicu rilis notula The Fed edisi Desember tersebut menunjukkan selain bisa menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, bank sentral paling powerful di dunia ini juga berpeluang mengurangi nilai neracanya (balance sheet). Artinya The Fed bisa menjual obligasi dan surat berharga yang dimiliki, sehingga likuiditas akan diserap lagi sehingga semakin ketat.

Hal tersebut dilalukan guna meredam inflasi yang sangat tinggi di Amerika Serikat. Tetapi efek lain yang ditimbulkan yakni yield obligasi (Treasury) AS mengalami lonjakan.
Kenaikan yield Treasury tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang pada akhirnya menekan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS