Sukses Menguat, Rupiah Akhirnya "Pecah Telor" di 2022!
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah melemah 4 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) dengan total persentase nyaris 1%, rupiah akhirnya sukses mencatat penguatan pada perdagangan Jumat (7/1). Sentimen pelaku pasar yang cukup bagus mampu membuat rupiah bangkit dan mampu mencatat penguatan pertama di tahun 2022.
Melansir data Refinitiv, upiah membuka perdagangan dengan menguat 0,21%, dan sempat bertambah hingga 0,28% ke Rp 14.350/US$. Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga menjadi 0,17%, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.355/US$, menguat 0,24% di pasar spot.
Dengan penguatan hari ini, selama sepekan rupiah mencatat pelemahan .0,74%.
Tidak sekedar menghentikan pelemahan 4 hari beruntun, rupiah juga menjadi yang terbaik di Asia pada perdagangan hari ini. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:03 WIB.
Membaiknya sentimen pelaku pasar terlihat dari mayoritas bursa saham Asia yang menghijau. Rupiah merupakan mata uang emerging market dengan imbal hasil tinggi, sehingga akan diuntungkan ketika sentimen pelaku pasar membaik.
Rupiah belum mampu melaju kencang sebab yield obligasi (Treasury) AS masih terus menanjak yang terus mendongkrak kinerja dolar AS.
Dalam 4 hari perdagangan, yield Treasury sudah naik lebih dari 21 basis poin ke 1,7281% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021.
Kenaikan yield tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang bisa menekan rupiah.
Pemicu kenaikan tersebut yakni bank sentral AS (The Fed) yang bisa lebih agresif lagi dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini.
Hal tersebut terungkap dalam rilis notula rapat kebijakan moneter edisi Desember yang menunjukkan beberapa anggota The Fed juga melihat nilai neraca (balance sheet) juga bisa dikurangi.
"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).
Artinya, tidak hanya kenaikan suku bunga, The Fed juga berpeluang melepas menjual obligasinya dan surat berharga yang dimiliki, sehingga likuiditas bisa terserap. Pengetatan likuiditas bisa berdampak pada terus menanjaknya yield Treasury yang berdampak buruk bagi rupiah.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan pada akhir Desember cadangan devisa sebesar US$ 144,9 miliar, turun dari bulan sebelumnya 145,9 miliar. Meski penurunannya cukup besar, tetapi cadangan devisa masih tinggi dan tidak jauh dari rekor US$ 146,9 miliar pada September lalu.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,0 bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangan resminya
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan."
Meski mengalami penurunan, tetapi cadangan devisa Indonesia masih tinggi, tidak jauh dari rekor US$ 146,9 miliar pada September lalu.
Dengan cadangan devisa yang besar, BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah saat mengalami gejolak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)