
Ngeri! Crash Terbesar, Wall Street Diramal Ambrol Hingga 90%

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau yang biasa disebut Wall Street merosot dalam dua hari terakhir pasca rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Tetapi bukan itu kabar buruknya, di tahun ini Wall Street diprediksi akan mengalami crash, bahkan hingga 90%.
Jika prediksi tersebut jitu, maka bursa saham global juga bisa terseret termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Maklum saja, Wall Street merupakan kiblat bursa saham dunia, saat jeblok pada perdagangan Rabu (5/1), bursa Asia dan Eropa ikut rontok sehari setelahnya.
Prediksi tersebut diberikan oleh Harry Dent, seorang ekonom dan juga penulis buku best seller "Zero Hour: Turn the Greatest Political and Financial Upheaval in Modern History to Your Advantage"
Berbicara dengan Kitco, Dent mengatakan pasar finansial akan menghadapi kemerosotan terbesar dalam sejarah di tahun ini. Aset berisiko seperti saham diramal akan mengalami beberapa gelombang aksi jual. Gelombang pertama akan menyebabkan indeks S&P 500 merosot hingga 40%, dan keseluruhan fase bearish akan membuat S&P jeblok hingga 90%.
"Ini akan menjadi crash terbesar dalam hidup anda, dan ini kemungkinan terjadi di 2022. Secara keseluruhan kemerosotan bisa mencapai 80% hingga 90%," kata Dent, sebagaimana dilansir Kitco, Kamis (6/1).
Pendiri HS Dent Publishing ini mengatakan saat ini sudah terjadi "bubble terbesar dalam sejarah" akibat stimulus moneter yang diberikan bank sentral AS (The Fed).
Seperti disebutkan sebelumnya jebloknya Wall Street dalam dua hari terakhir dipicu rilis notula The Fed yang menunjukkan normalisasi kebijakan moneter kemungkinan dilakukan lebih cepat. Tidak hanya agresif menaikkan suku bunga, beberapa anggota The Fed juga melihat nilai neraca (balance sheet) juga bisa dikurangi.
"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).
Dengan adanya kemungkinan The Fed mengurangi neracanya, dengan menjual obligasinya, maka likuiditas di perekonomian akan kembali terserap, dan diharapkan mampu meredam tingginya inflasi.
Tetapi efek sampingnya, likuiditas diserap lebih cepat dan berisiko menjadi ketat, yang tidak menguntungkan bagi pasar saham.
Meski memprediksi crash terbesar sepanjang sejarah yang bisa terjadi, Dent menyebut hal tersebut akan diikuti oleh peluang beli terbaik sepanjang hidup.
"Kita akan memiliki peluang beli terbaik sepanjang hidup pada akhir 2023 atau setelahnya," kata Dent.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wall Street Dibuka Variatif, Saham Teknologi dalam Tekanan