
Melemah 4 Hari Beruntun di Awal 2022, Rupiah Sehat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejutan dari bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat rupiah mencatat pelemahan 4 hari beruntun. Artinya sepanjang tahun 2022, rupiah belum sekali pun menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,24% ke Rp 14.390/US$. Sempat memangkas pelemahan ke Rp 14.372/US$, rupiah kembali melemah hingga 0,28% ke Rp 14.395/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.390/US$. Selama 4 hari perdagangan di 2022, total rupiah melemah nyaris 1%.
Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) edisi Desember yang menunjukkan normalisasi kebijakan moneter bisa dilakukan lebih agresif membuat rupiah tertekan.
Tidak hanya menaikkan suku bunga, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi yang membuat pasar terkejut.
"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).
Data ekonomi dari AS juga mendukung hal tersebut, inflasi sudah sangat tinggi dan pasar tenaga kerja terus membaik.
ADP melaporkan penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam pada Desember 2021 mencapai 807.000. Jauh lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 400.000.
Pasar tenaga kerja yang bangkit, plus inflasi tinggi, tentu membuat The Fed memang harus segera 'menginjak rem'.
"Notula rapat FOMC hari ini membuat segalanya menjadi terang-benderang. Kartu kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun ini ada di atas meja," ujar Dave Donabedian, Chief Investment Officer di CIBC Private Wealth, seperti dikutip dari Reuters.
Pasca rilis notula tersebut, imbal hasil (yield) Treasury AS tenor 10 tahun melesat 5 basis poin ke 1,6999% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021. Kemudian Treasury tenor 2 tahun yang sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan, yield-nya naik 6,9 basis poin ke 0,8296% yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020.
Kenaikan yield Treasury tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang pada akhirnya membuat rupiah tertekan dan melemah 4 hari beruntun.
Pelemahan rupiah diperkirakan masih akan berlangsung ke depan. Namun Ekonom Maybank Myrdal Gunarto meyakini pelemahannya tidak terlalu dalam, seiring rendahnya kepemilikan asing pasar surat utang negara dan ekspor yang masih berada pada tren positif.
"Dengan eksposur investor asing yang tidak sekuat beberapa tahun lalu, plus ditambah lagi dengan performa ekspor yang masih cukup baik seiring harga komoditas andalan lokal yang masih tinggi, maka USD/IDR diproyeksikan masih akan berada di kisaran 14200-14600 pada tahun ini," jelas Myrdal kepada CNBC Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
