
Sakitnya tuh di Kantong! Rupiah Merosot 3 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (5/12). Dengan demikian, rupiah sudah 3 hari beruntun mencatat pelemahan atau belum pernah menguat di tahun 2022.
Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,14% ke Rp 14.320/US$. Dalam hitungan menit, rupiah langsung jeblok 0,45% ke Rp 14.365/US$, yang merupakan level terlemah sejak 22 Desember lalu.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.355/US$, melemah 0,38% di pasar spot. Dalam 3 hari, rupiah total melemah 0,74%.
Kenaikan tajam yield obligasi AS (Treasury) yang memicu kenaikan indeks dolar AS membuat rupiah terpukul. Kabar buruknya, yield Treasury dan indeks dolar AS kembali menanjak pada perdagangan Selasa kemarin.
Pergerakan tersebut mengindikasikan pelaku pasar mulai mengantisipasi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat di tahun ini. Bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, dan kenaikan pertama bisa terjadi di bulan Maret, atau kurang dari 3 bulan lagi.
Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas sekitar 60% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret. Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022.
Spekulasi semakin menguat merespon pernyataan pejabat elit The Fed jika inflasi tinggi bisa bertahan lebih lama.
Inflasi dijadikan acuan The Fed berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan November melesat 5,7% (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982. Inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.
"Kenyataannya, inflasi lebih tinggi dari yang saya perkirakan, lebih bertahan lama dari yang saya perkirakan. Pertanyaannya, apakah ini masih sementara (transitory) atau tidak?
"Jika rezim inflasi rendah akan membuat kekuatan makroekonomi menyeimbangkan dirinya sendiri, maka FOMC (Federal Open Market Committee, komite pembuat kebijakan The Fed) harus segera mengedepankan ini. Jadi kita tidak bisa menghindari perlambatan laju pemulihan ekonomi karena inflasi yang tinggi," papar Neel Kashkari, presiden The Fed Minneapolis.
Meski demikian, kenaikan yield Treasury AS tidak memicu kenaikan yield Surat Berharga Indonesia (SBN). Yield SBN tenor 10 tahun hari ini turun 10,2 basis poin.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya. Kenaikan harga menjadi indikasi ada aksi beli, dan tidak menutup kemungkinan oleh investor asing.
Oleh karena itu, ada kemungkinan tidak terjadi capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang bisa menjadi kabar bagus. Sebab ketika tidak terjadi capital outflow, malah inflow maka rupiah berpeluang menguat ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
